Kejaksaan Agung Mohonkan Gijzeling Terhadap Tergugat
Ruislag Bulog-Goro:

Kejaksaan Agung Mohonkan Gijzeling Terhadap Tergugat

Jika dinilai tidak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya, Kejagung memohonkan upaya paksa badan kepada para tergugat.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Kejaksaan Agung Mohonkan Gijzeling Terhadap Tergugat
Hukumonline

 

Gijzeling dimintakan oleh Kejagung untuk menjamin agar para tergugat benar-benar mau membayar ganti rugi kepada penggugat sebagai kewajiban hukumnya. Upaya paksa badan itu sesuai dengan isi Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 1 Tahun 2000, jelas Yoseph Suardi Sabda, Direktur Perdata Jamdatun Kejagung kepada hukumonline melalui sambungan telepon.

 

Pasal 1 dari Perma tersebut mendefinisikan paksa badan sebagai upaya paksa tak langsung dengan memasukkan seorang debitur yang beritikad tidak baik ke dalam Rumah Tahanan Negara (Rutan) yang ditetapkan pengadilan. Tujuannya untuk memaksa yang bersangkutan memenuhi kewajibannya.

 

Masih dalam pasal yang sama, pengertian debitur yang tidak beritikad baik dirinci lagi menjadi debitur, penanggung atau penjamin hutang yang mampu tetapi tidak mau memenuhi kewajibannya untuk membayar utang-utangnya.

 

Sementara ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 4 Perma membatasi ruang lingkup gijzeling. Paksa badan hanya dapat diterapkan pada debitur yang memiliki kewajiban alias utang minimal sebesar Rp1 milyar.

 

Ketentuan itulah yang menjadi landasan bagi Kejagung untuk meminta penetapan paksa badan. Menurut perhitungan kami, para tergugat memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi yang jumlahnya lebih dari satu milyar, kata Yoseph.

 

Selain itu, lanjut Yoseph, unsur lain tentang paksa badan seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 Perma juga terpenuhi dalam perkara ini. Kita mengetahui bahwa para tergugat, atau paling tidak salah satunya memiliki sejumlah uang untuk membayar ganti rugi, tapi dia tidak mau melaksanakannya. Itu kan namanya debitur yang memiliki itikad tidak baik, jelasnya.

 

Atas tuntutan paksa badan itu, Elza Syarief, kuasa hukum Tommy Soeharto kepada wartawan menjelaskan bahwa tuntutan itu sama sekali tidak berdasar. Tergugat II (Tommy, red) sudah menjalani putusan pidana dalam perkara Bulog ini, ujarnya.

 

Belum ada kematian perdata

Menyitir ketentuan Pasal 3 dan Pasal 1919 KUHPerdata, Yoseph membantah pernyataan Elza. Menurutnya, dari dua ketentuan Pasal itu, hak dan kewajiban Tommy Soeharto maupun tergugat lainnya tidak lantas hilang.

 

Pasal 3 KUHPerdata menyebutkan, tiada suatu hukuman pun yang mengakibatkan kematian perdata, atau hilangnya segala hak-hak kewargaan. Sedangkan Pasal 1919 KUHPerdata menjelaskan, Jika seseorang telah dibebaskan dari tuduhan melakukan kejahatan atau pelanggaran terhadapnya, maka pembebasan tersebut tidak dapat diajukan sebagai perkara perdata ke Pengadilan untuk menangkis tuntutan ganti rugi.

 

Sebagai ilustrasi, Joseph mencontohkan ketika ada seseorang yang menabrak orang lain hingga meninggal dunia. Dalam kasus itu, ketika si penabrak dijatuhi hukuman penjara sekian tahun, tidak menghapuskan kewajibannya untuk membayar ganti rugi kepada korban maupun keluarganya,

 

Lain Yoseph, lain lagi pendapat Nuryanto. Kuasa hukum dari kurator GBS ini malah mempertanyakan maksud dan tujuan dari permohonan gijzeling ini. Pasalnya, menurut Nuryanto, GBS kini sudah dalam status pailit sesuai dengan putusan pengadilan.

 

Jadi kalau misalnya, mereka mengajukan upaya paksa badan, siapa yang mereka maksud untuk dipaksa-badankan? Karena sekarang status Goro sekarang ada di bawah kurator, ungkap Nuryanto.

 

Selain itu, Nuryanto juga membantah tudingan Yoseph mengenai tidak adanya itikad baik. Nuryanto berdalih, saat ini Goro melalui kuratornya sedang membereskan utangnya. Termasuk utang kepada Perum Bulog sejumlah Rp45 milyar, bebernya.

 

Menanggapi hal itu, Yoseph menandaskan, berdasarkan ketentuan Pasal 95 Ayat (3) UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyebutkan bahwa perbuatan hukum yang dilakukan oleh para direksi sebelum pengangkatannya batal, tetap mengikat dan menjadi tanggung jawab perseroan. Jadi menurut Pasal itu, direksi Goro (Ricardo Gelael, red) harus bertanggung jawab toh? kata Yoseph.

 

Sedangkan terhadap Tommy Soeharto, Yoseph mengaku membidiknya dengan ketentuan Pasal 3 Ayat (2) huruf c. Di dalam UU PT, baik yang lama (UU No 1 Tahun 1995, red) maupun yang baru, diatur bahwa pemegang saham yang melakukan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan harus bertanggung jawab secara pribadi. Jadi kalau dikabulkan hakim, dia juga kena paksa badan, urainya.

 

Tak terbatas hubungan kontraktual

Pada kesempatan yang sama, Yoseph juga menepis tudingan bahwa gijzeling tidak mungkin diterapkan dalam perkara ini karena adanya anggapan yang menyatakan gijzeling hanya dapat digunakan kepada debitur dalam konteks hubungan kontraktual.

 

Menurut saya itu pandangan yang terlampau sempit dimana ketentuan dalam Perma itu ditafsirkan secara sempit dimana biasanya hanya diartikan sebagai hubungan kreditur dengan debitur dalam perjanjian utang-piutang atau pinjam-meminjam, tuturnya. Padahal, perikatan juga bisa timbul karena perbuatan melawan hukum toh? tegasnya.

 

Pendapat Yoseph diamini oleh Yoni A. Setyono. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini berpendapat, secara sepintas ketentuan Perma itu memang bisa ditafsirkan secara sempit. Tapi kalau kita dipahami lebih dalam, hubungan hukum kan tidak hanya lahir dari hubungan kontraktual, tapi juga dapat lahir dari undang-undang.

 

Meski begitu, Yoni mengaku belum pernah mendengar adanya penetapan pengadilan mengenai gijzeling ini. Terutama setelah keberadaan Perma No 1 Tahun 2000 ini ya, sambungnya. Tidak implementatifnya Perma tersebut, menurut Yoni, lebih dikarenakan belum adanya peraturan yang lebih teknis. Sehingga hakim agak takut-takut untuk memberikan penetapan.

Drama persidangan gugatan perdata antara Bulog melawan PT Goro Batara Sakti (GBS) dkk mulai memasuki tahap pembacaan gugatan, setelah proses mediasi di antara para pihak menemui jalan buntu.

 

Pada persidangan yang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (19/11), terungkap bahwa Kejaksaan Agung (Kejagung) yang mewakili Bulog sebagai penggugat, di dalam petitumnya ternyata juga menuntut agar majelis hakim menetapkan upaya paksa badan (gijzeling) terhadap para tergugat.

Tags: