Persero 100% Milik Negara Tunduk pada UU PT
Utama

Persero 100% Milik Negara Tunduk pada UU PT

BUMN yang terbagi atas saham adalah perseroan terbatas biasa. Aset mereka juga bukan lagi aset negara, melainkan aset persero itu. MA dinilai inkonsisten dengan fatwa sebelumnya.

Oleh:
Kml
Bacaan 2 Menit
Persero 100% Milik Negara Tunduk pada UU PT
Hukumonline

 

Lebih lanjut ia menyatakan, aset-aset persero bukan lagi aset negara, melainkan aset badan hukum tersebut. Kalau saya sudah setor tanah sebagai modal ke dalam PT, itu bukan harta saya lagi, tapi harta badan hukum ujarnya beranalogi.

 

Selain itu, karena perusahaan terbagi saham, persero bisa dipailitkan tidak hanya oleh Menkeu. Sebaliknya, Perum yang tidak terbagi atas saham hanya dapat dipailitkan Menkeu. Ia juga berpandangan persero terbagi atas saham sebagai bentuk akumulasi modal, dan negara tidak campur tangan lagi Yang dimiliki negara cuma saham, asetnya bukan aset negara lagi. UU BUMN memang menyebutkan terhadap persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi PT sesuai UU PT.

 

Pandangan MA, menurut Erman dapat memunculkan kehawatiran bagi kalangan usaha untuk berbisnis dengan BUMN Persero lagi karena tidak bisa dipailitkan. Ia memandang tidak dibayarnya hutang adalah contoh buruk secara politis. PT DI sebaiknya membayar utang ke mantan karyawan. Apalagi, kata Erman, perintah membayar utang yang dikeluarkan P4P (badan peradilan buruh pada masa lalu) sudah berkekuatan hukum tetap.

 

Meski tidak setuju dengan pertimbangan MA, Erman mengaku setuju bila PT DI tidak dipailitkan. Alasan Erman lebih mendasar, aset PT DI lebih besar dari utangnya sehingga perlu ada solvency test. Selain itu, bila DI pailit antara lain karyawan yang saat ini bekerja akan menganggur, serta penerbangan merupakan industri strategis.

 

Constant Ponggawa termasuk yang sependapat dengan pertimbangan MA yang menyatakan Persero milik pemerintah seluruhnya tidak begitu saja dapat dipailitkan. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang komisinya mengurusi BUMN ini menyatakan persero masih merupakan milik negara dan tidak 100% dipisahkan. Hal ini tidak berlaku bagi persero yang hanya sebagian sahamnya dimiliki negara.

 

Setiap keputusan untuk mempailitkan BUMN yang seluruh sahamnya dimiliki pemerintah, meurut Constant harus dibicarakan dengan DPR. Itu menandakan masih milik negara, belum bisa dikatakan bahwa seratus persen dipisahkan ujarnya.

 

Mantan praktisi hukum ini kemudian menjelaskan, dengan didirikannya persero diharapkan untuk menjadi perusahaan yang memberikan keuntungan, selain BUMN menjadi perusahaan dikuasai negara untuk bidang strategis. Dengan terbentuknya BUMN dalam bentuk PT, BUMN tersebut bisa memenuhi kriteria PT murni sehingga bila dibutuhkan dapat diakukan privatisasi.

 

Selain itu pemailitan PT DI juga memiliki unsur politis.  PT DI tidak bisa dilihat secara hitam putih, ada nilai-nilai politisnya juga. Sangat mendiskreditkan pemerintah Indonesia bila perusahaan yang seluruhnya dimiliki pemerintah Indonesia bangkrut, ujar Constant. Apalagi PT DI juga masih memiliki kontrak-kontrak dengan pihak luar negeri.

 

Menurut Constant, putusan ini justru bisa menjadi preseden alias yurisprudensi tetap. Agar tidak ada lagi usaha pemailitan terhadap usaha milik negara, karena mereka tahu ini di-backup oleh negara sehingga bonafiditas perusahaan negara terjamin, ujarnya. Terkait kasus utang-piutang dengan mantan karyawannya, Constant juga menekankan PT DI untuk melunasi utang-utangnya.

 

Putusan vs Fatwa

Dengan alasannya diatas, Erman juga menyatakan putusan ini inkonsisten dengan fatwa yang pernah dikeluarkan MA. Tahun lalu, MA pernah ‘memisahkan' BUMN dari negara melalui fatwanya. Terkait pelunasan piutang Bank BUMN yang macet, MA berpandangan piutang BUMN bukan merupakan piutang negara. Fatwa yang juga ditandatangani Wakil Ketua MA Marianna Sutadi itu, juga menyatakan pengelolaan modal BUMN tidak lagi didasarkan sistem APBN melainkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.

 

Erman, yang sepandangan dengan fatwa itu, MA menekankan perlunya sinkroninsasi beberapa Undang-undang dengan Undang-Undang BUMN dan Undang-Undang PT. Praktisi hukum Swandy Halim juga sependapat. Menurutnya perlu ada sinkronisasi UU No 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang dan Lelang Negara, Undang-Undang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang BUMN.

Putusan pembatalan pailit PT Dirgantara Indonesia (Persero) atau PT DI oleh Mahkamah Agung (MA) terus menarik perdebatan. MA mengharamkan badan hukum perseroan terbatas (PT) berbentuk persero yang seluruh sahamnya dimiliki pemerintah untuk dimohonkan pailit oleh subjek hukum biasa selain Menteri Keuangan (Menkeu). Padahal, menurut sebagian pengamat persero merupakan PT murni dan karenanya berlaku prinsip hukum korporasi secara umum.

 

Terbaginya kepemilikan negara atas saham PT DI juga dianggap sebagai suatu keharusan untuk taat kepada ketentuan UU PT, tentang syarat minimal kepemilikan dua orang. Maka dibagilah atas saham. Tapi keseluruhan modal itu kan modal yang dimiliki oleh negara ujar ketua majelis hakim MA Marianna Sutadi (24/10).

 

Mengacu pada Pasal 50 Undang-Undang Perbendaharaan Negara, MA juga menyatakan aset PT DI merupakan aset negara yang tidak dapat disita. Karena dalam kepailitan terjadi sita umum, maka PT DI tidak dapat dipailitkan.

 

Pertimbangan majelis hakim ini, dikritisi oleh Erman Rajaguguk. Menurutnya argumen tidak dapat pailit sebab seluruh saham dimiliki negara tidak tepat. Kalau BUMN yang terbagi atas saham itu PT biasa. Persero bukan kekayaan negara lagi karena sudah dipisahkan, ujar Erman. Saat ini, saham PT DI dimiliki negara melalui Menteri Keuangan dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Halaman Selanjutnya:
Tags: