Tidak Hati-Hati Tangani Pasien, RS Pondok Indah Harus Bayar Dua Miliar
Utama

Tidak Hati-Hati Tangani Pasien, RS Pondok Indah Harus Bayar Dua Miliar

Hakim menyatakan ketidakhati-hatian dan ketidaktelitian RS Pondok Indah dan dokternya dalam mendiagnosa penyakit pasien adalah perbuatan melawan hukum.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Tidak Hati-Hati Tangani Pasien, RS Pondok Indah Harus Bayar Dua Miliar
Hukumonline

 

Di dalam pertimbangan hukumnya, hakim menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Bahwa atas perubahan hasil diagnosa, dan tidak disampaikannya hasil diagnosa itu kepada pasien dimana sebenarnya itu berakibat fatal bagi pasien. Maka para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena telah melanggar asas ketelitian dan kehati-hatian ketika menangani pasien, kata Sulthoni, hakim yang memimpin persidangan.

 

Karenanya, lanjut Sulthoni, sangat wajar jika mengabulkan tuntutan ganti rugi seperti yang diminta oleh penggugat. Tapi majelis hakim tidak sependapat dengan jumlah yang diminta oleh penggugat. Majelis menilai gugatan ganti rugi materil dan immateril yang harus dibayarkan oleh para tergugat adalah senilai Rp2 miliar, tegas Sulthoni.

 

Teguh P. Darmawan, kuasa hukum RSPI di dalam persidangan menyatakan pikir-pikir atas putusan hakim. Demikian juga dengan Said Damanik, kuasa hukum Ichramsyah. Namun ditemui di luar persidangan, Said menyatakan kekecewaannya atas putusan hakim. Menurut Said, antara pertimbangan dan bagian putusan, terlihat tidak sinergis.

 

Dalam bagian fakta hukum dan pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa seharusnya yang paling bertanggung jawab dalam perkara ini adalah pihak RSPI. Karena dokter hanya menangani berdasarkan sarana dan prasarana yang disediakan oleh rumah sakit. Termasuk di dalamnya dokumen PA itu. Klien saya (Ichramsyah, red) memberikan penanganan yang biasa karena hasil PA yang pertama kali diterimanya menyatakan tumor tidak ganas, urai Said.

 

Sebaliknya, lanjut Said, jika PA yang diberikan pihak RSPI menyatakan tumor ganas, Penanganannya akan jauh berbeda, tegasnya. Parahnya lagi, RSPI ternyata tidak memiliki laboratorium khusus untuk menguji PA ini. Jadi selalu menggunakan lab luar. Ini jelas sebuah kerugian bagi dokter untuk memberikan penanganan yang cepat kepada pasiennya, Said membeberkan.

 

Harmono, kuasa hukum penggugat, juga menyatakan pikir-pikir atas putusan ini. Kami akan konsultasikan lagi dengan klien kami. Tapi pada prinsipnya, kami menyambut baik putusan hakim. Ini menjadi suatu simbol  kemenangan pasien yang notabene adalah konsumen kesehatan, ujarnya sumringah.

 

Teka-teki mengenai siapa yang harus bertanggung jawab atas malpraktek yang menyebabkan meninggalnya pasien terjawab sudah. Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan agar dokter dan rumah sakit tempat pasien itu ditangani, harus bertanggung jawab secara tanggung renteng untuk memberikan ganti rugi.

 

Begitulah amar majelis hakim PN Jakarta Selatan yang memimpin sidang perkara perdata antara ahli waris almarhumah Sita Dewati Darmoko sebagai penggugat melawan Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) dan beberapa dokter didalamnya sebagai para tergugat. Dalam amar putusannya, hakim menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum ketika menangani almarhumah Sita Dewi. Lebih jauh, hakim memutuskan agar para tergugat membayar ganti rugi secara tanggung renteng sebesar Rp2 miliar.

 

Seperti diwartakan sebelumnya, perkara ini bermula saat (almh) Sita Dewi melakukan operasi Tumor Ovarium di RSPI pada 12 Februari 2005. Tim dokter yang melakukan operasi itu dipimpin Prof DR. Ichramsyah A. Rachman, dimana saat itu berdasarkan hasil uji Pathology Anatomi (PA) dinyatakan tumor yang menjangkit di tubuh Sita dinyatakan tidak ganas. Setelah tumor itu diangkat, sampelnya dikirim untuk dites lagi. Hasilnya, pada 16 Februari 2005, PA justru menunjukkan fakta yang sebaliknya. Tumor yang ada di ovarium Sita ternyata ganas. Namun PA ini tidak pernah dikabarkan ke Sita maupun keluarganya.

 

Setelah setahun berlalu. Tepatnya pada 16 Februari 2006, Sita mengeluhkan adanya benjolan di sekitar perutnya. Saat berkonsultasi dengan dokter dari RSPI, baru pada saat itulah Sita diberitahu hasil PA-nya yang menyatakan bahwa tumor ganaslah yang menggerogoti tubuhnya. Disitulah emosi Sita membuncah. Ia menilai tidak adanya koordinasi dan pertanggungjawaban antara dokter dan manajemen rumah sakit untuk menyampaikan hasil PA yang sebenarnya. Karenanya, Sita merasa telah kehilangan waktu selama satu tahun untuk menyembuhkan tumor yang ternyata ganas itu. Dan benar saja. Ketika baru menjalani beberapa kali terapi, nyawa Sita tidak tertolong lagi.

 

Merasa adanya faktor keteledoran dokter dan RSPI, Pitra Azmirla dan Damitra Almira, anak (almh) Sita Dewi kemudian menuntut pertanggungjawaban. Pihak RSPI juga bukannya tidak mau bertanggung jawab. Kepada Pitra dan Damitra, RSPI menawarkan uang sejumlah Rp400 juta. Belakangan, RSPI menaikkannya hingga Rp1 miliar. Namun Pitra dan Damitra tidak mau menerimanya. Karena buntu, keduanya kemudian mengajukan gugatan perdata ke PN Jakarta Selatan. Belakangan, di dalam persidangan antara pihak manajemen RSPI dengan Ichramsyah, saling melempar tanggung jawab.

Tags: