IAI Siap Menentang Draft Pemerintah
RUU Akuntan Publik:

IAI Siap Menentang Draft Pemerintah

Ikatan Akuntan Indonesia menolak tegas sebagian pasal dalam draft RUU Akuntan Publik. Dua diantaranya tentang rotasi dan sanksi pidana bagi seorang akuntan publik.

Oleh:
Sut/Lut
Bacaan 2 Menit
IAI Siap Menentang Draft Pemerintah
Hukumonline

 

Sebenarnya, sejak RUU AP ini digagas tiga tahun lalu, draf Rancangan Undang-Undang Akuntan Publik (RUU AP) masih menuai protes dari berbagai pihak. Pihak yang paling lantang justru datang dari para akuntan publik itu sendiri. Selain tidak diikut sertakan dalam tim penyusun, RUU yang rencananya akan dirampungkan pemerintah tahun ini menurut mereka juga bisa merusak profesi akuntan publik.

 

RUU yang disiapkan oleh Menkeu ini menurut kami bukannya membantu profesi akuntan publik melainkan akan merusak profesi AP itu sendiri. Oleh sebab itu kita akan tentang habis-habisan, tegas Ahmadi Hadibroto, Ketua Dewan Pengurus Nasional (DPN) IAI di sela Kongres Luar Biasa 2007 IAI, di Hotel Mulya, Senayan, Selasa (22/5).

 

Ahmadi menuturkan, ada dua masalah krusial yang perlu diubah dalam draf itu, yakni pengenaan sanksi pidana bagi akuntan publik dan masalah rotasi Kantor Akuntan Publik (KAP).

 

Menurut Ahmadi, sebetulnya IAI setuju diberlakukan sanksi pidana bagi akuntan publik yang melakukan perbuatan tercela. Hanya saja, dia keberatan dengan usulan pemerintah yang mengenakan sanksi pidana maksimum enam tahun bagi akuntan publik. Kalau lima tahun nggak apa-apa lah, cetusnya.

 

Permintaan maksimum lima tahun oleh Ahmadi bukannya tanpa alasan. Sebab, setelah dia berkonsultasi dengan ahli hukum, diketahui bahwa, bila ada aturan yang menyebutkan maksimum pidana enam tahun penjara, maka ada kewenangan bagi penyidik untuk menahan orang lebih dulu sebelum memperoleh bukti yang cukup.

 

Hal itu menurut Ahmadi bisa menjadikan Akuntan Publik (AP) sebagai objek sasaran kejahatan. Maaf-maaf saja, dalam sistem negara kita sekarang, kalau itu yang terjadi, nanti akuntan publik akan menjadi objek. Kita nggak mau itu terjadi. Kita dengar di kalangan notaris sudah mulai terjadi hal seperti itu, imbuhnya.

 

Pernyataan Ahmadi ini didukung oleh Tia Adityasih. Ketua Kompartemen Akuntan Publik DPN IAI ini kurang setuju pengenaan sanksi pidana bagi akuntan publik. Dia menilai aturan itu terlalu memberatkan dan merugikan akuntan publik sebagai sebuah profesi. Seharusnya, kata Tia,  sanksi yang diberikan lebih bersifat perdata. Sanksi pidana ini menurutnya, lebih cocok diterapkan pada orang yang mengaku berprofesi sebagai akuntan publik tapi nyatanya bukan. Atau akuntan publik yang diduga turut bekerjasama merekayasa sebuah laporan keuangan.

 

Tragisnya, permintaan IAI tersebut tetap ditolak mentah-mentah oleh Departemen Keuangan (Depkeu) sebagai regulator yang disiapkan pemerintah untuk menyusun RUU ini, tanpa alasan yang jelas.

 

Direktur Informasi dan Akuntansi Depkeu, Hekinus Manao menyatakan, sanksi pidana diberikan supaya kelompok masyarakat yang bernama profesi audit itu harus memiliki tanggung jawab yang jelas, termasuk tanggung jawab keadilan bila akuntan publik tersebut berlaku tidak adil.

 

Alasannya, setiap kegiatan yang dilakukan oleh akuntan publik, sebetulnya atas nama publik. Terus terang saja, yang namanya akuntan itu tidak boleh cuci tangan. Sebab, mereka ikut membuat kenapa negara ini seperti sekarang ini, kritiknya.

 

Aturan Rotasi

Satu persoalan lama yang ada dalam keputusan itu, dan kini juga dipersoalkan dalam RUU, adalah soal pengaturan rotasi kantor akuntan publik. Dalam Keputusan Menteri digariskan bahwa setiap kantor akuntan hanya diperbolehkan melakukan audit untuk lima tahun buku berturut-turut. Sedangkan seorang akuntan publik maksimal tiga tahun berturut-turut.

 

Ketentuan serupa kembali ditegaskan dalam RUU. Bahkan periode maksimal akuntan publik menjadi sama dengan kantor akuntan, yaitu lima tahun. Masa pembatasan itu baru berakhir setelah akuntan tidak memberikan jasa audit selama dua tahun berturut-turut atas klien tersebut. Independensi harus di-jaga untuk melindungi kepentingan publik, kata Basri Edward.

 

Karena itulah para akuntan sejak awal menentang aturan ini. Namun pengurus IAI belakangan melunak, dengan catatan: pembatasan hanya dilakukan kepada akuntan publik, bukan kepada kantor akuntan. Dengan begitu, klien tak perlu berpindah-pindah kantor akuntan. Di banyak negara pun pembatasan kantor akuntan publik ditolak, kata Tia.

 

Ahmadi menilai aturan itu tidak benar. Menurutnya, hasil penelitian yang dilakukan dibanyak negara, termasuk yang dilakukan oleh International Business Chamber, menunjukan bahwa, resiko kegagalan audit justru terjadi di tiga tahun pertama KAP itu berdiri. Nah, kalau kita dipaksa setiap lima tahun harus ganti auditor, berarti setiap lima tahun akan timbul lagi resiko gagal audit, cetusnya.

 

Kerugian lain, dengan pergantian kantor akuntan, biaya audit menjadi lebih mahal karena proses pengumpulan data dimulai dari awal. Lama-lama klien bisa lari ke kantor-kantor akuntan luar negeri, dari India atau Malaysia, kata Sarwoko.

 

Pakar akuntansi forensik dan audit investigasi Theodorus M Tuanakotta juga tidak sependapat dengan usulan rotasi KAP itu. Menurutnya, rotasi yang ideal bisa dilakukan dengan merotasi partner dari KAP yang bersangkutan. Seperti anda naik bis yang sering kecelakaan, yang diganti harusnya supirnya bukan perusahaan bisnya, cetus pria yang juga berprofesi sebagai akademisi ini.

 

Theo-panggilan akrab Theodorus-juga tidak setuju kalau KAP wajib melaporkan nilai kekayaannya kepada pemerintah. Dia setuju kalau laporan itu atas dasar kewajiban dari seorang warga negara, seperti yang pernah diterapkan Pemerintah Belanda sewaktu menjajah Indonesia hingga tahun 1960an, dimana setiap orang wajib melaporkan dan dikenakan pajak kekayaan setiap tahunnya. Mengenai masalah laporan kekayaan KAP ini, Ahmadi hanya berujar, Kita merasa aturan neh dan tidak ada gunanya.

 

Sementara itu, seorang akuntan yang ditemui di sela-sela KLB IAI mengatakan bahwa aturan rotasi itu pada prakteknya bisa disiasati. Untuk kantor akuntan besar yang punya banyak akuntan publik, siasat dijalankan dengan cara menidurkan sebagian akuntannya. Hanya sebagian kecil akuntan yang didaftarkan sebagai rekan kantor itu ke Departemen Keuangan. Sisanya berstatus cuti, untuk nantinya dimunculkan bergiliran.

 

Dengan cara ini, kantor akuntan itu bisa terhindar dari pembatasan lima tahunan atas kliennya. Cara lain ialah dengan menggandeng mitra baru yang tugasnya hanya sebatas pemberi otorisasi hasil audit (signing partner) dengan imbalan fee sekitar 20 persen.

 

Yang jelas kelimpungan adalah kantor akuntan kecil. Tak mudah mencari mitra baru. Paling-paling melakukan merger bohong-bohongan, kata seorang akuntan senior. Seolah-olah beberapa kantor digabung untuk membikin kantor yang baru, padahal kenyataannya cuma ganti nama dan tetap menggarap klien masing-masing.

Kursi empuk para auditor keuangan tampaknya akan terasa lebih gerah. Adapun gara-garanya: rancangan undang-undang tentang akuntan publik, yang telah disosialisasi sejak tiga tahun lalu, bakal segera meluncur ke kantor Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

 

Drafnya tinggal diserahkan ke Bu Menteri Keuangan, kata Sekretaris Tim Antardepartemen Panitia Kerja RUU, Basri Edward, di Jakarta. Akhir bulan ini akan diserahkan ke Departemen Hukum.

 

Buat para penelisik laporan keuangan perusahaan, isi RUU ini memang rada seram. Ada tiga pasal yang jelas-jelas mengatur ketentuan pidana terhadap pihak yang terlibat dalam proses audit. Pasal 46 bahkan langsung tertuju kepada kantor akuntan publik. Mereka diancam hukuman kurungan maksimal enam tahun dan denda paling tinggi Rp 300 juta jika terbukti melanggar Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP)

 

Jika ini diterapkan, Bisa-bisa jurusan akuntansi kosong, kata Iman Sarwoko dari kantor Ernst & Young-Purwantono, Sarwoko & Sandjaja. Alasannya, Kesalahan apa pun bisa dilarikan ke urusan pidana.

Halaman Selanjutnya:
Tags: