Tidak Gunakan UU Pers, Dakwaan JPU Tidak Diterima Hakim
Putusan Playboy:

Tidak Gunakan UU Pers, Dakwaan JPU Tidak Diterima Hakim

Diklasifikasi sebagai produk pers, hakim berpendapat perkara Playboy hanya bisa dituntut dengan UU Pers

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Tidak Gunakan UU Pers, Dakwaan JPU Tidak Diterima Hakim
Hukumonline

 

Selain itu, pada bagian konsiderans juga disebutkan bahwa pers nasional harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum dan bebas dari campur tangan dan paksaan pihak manapun. Dengan demikian, JPU tidak cermat dalam menyusun dakwaan karena tidak mencantumkan undang-undang Pers di dalam dakwaannya, sehingga dakwaan jaksa harus dinyatakan tidak dapat diterima, tutur Efran.

 

Atas putusan hakim tersebut, Agung Ardyanto, JPU yang menangani perkara ini, ketika ditemui usai persidangan mengatakan tidak menutup kemungkinan akan mengajukan dakwaan baru dengan menggunakan UU Pers. Tapi akan saya laporkan dulu ke pimpinan, jawabnya singkat.

 

Rudy Satryo, akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, saat dihubungi hukumonline menjelaskan bahwa upaya yang bisa ditempuh JPU dalam perkara ini hanya dengan mengajukan upaya hukum biasa, yaitu banding atau kasasi. Jaksa tidak bisa mengajukan dakwaan baru dengan UU Pers karena ada asas ne bis in idem, yang artinya terhadap satu perkara yang sama, tidak bisa diajukan tuntutan untuk kedua kalinya, kata Rudy.

 

Sementara, Hinca Panjaitan, praktisi hukum yang lama bergelut dengan dunia pers, tidak sependapat dengan Rudy. Menurutnya, JPU bisa saja mengajukan dakwaan baru dengan menggunakan UU Pers. Karena putusan hakim dalam perkara ini, sebenarnya hampir mirip dengan putusan sela, artinya belum memasuki pokok perkara. Jadi JPU bisa ajukan dakwaan baru kata mantan anggota Dewan Pers periode 2003-2006 ini.

 

Oleh karenanya dalam perkara ini Hinca menyayangkan tidak adanya eksepsi dari penasehat hukum mengenai ketidakcermatan dakwaan JPU. Padahal putusan hakim ini bisa dijatuhkan pada saat putusan sela. Tapi karena penasehat hukum tidak mengajukan eksepsi, maka hakim tidak bisa menjatuhkan putusan sela.

 

Ina H Rahman, penasehat hukum Erwin, mengaku begitu besarnya tekanan dari kelompok masyarakat tertentu mengakibatkan terganggunya konsentrasi dirinya dalam menghadapi perkara ini. Kami agak tertekan dengan pressure massa. Selain itu, kami tidak mengajukan eksepsi karena kami tidak tahu. Hingga ada keterangan ahli yang kami hadirkan yaitu Pak Atmakusumah (Astraatmadja) yang menyatakan bahwa ini adalah delik pers yang harus dihukum dengan undang-undang pers juga, bukan dengan KUHP, aku Ina.

 

UU Pers sebagai lex specialis

Hinca Panjaitan menyambut gembira atas putusan majelis hakim. Ia menilai peradilan di Indonesia sudah mulai familiar dengan UU Pers. Ini suatu kemajuan bagi dunia pers, karena selama ini hakim lebih sering menggunakan KUHP untuk mengkriminalisasi pers, ujarnya.

 

Hinca berharap agar putusan majelis hakim ini bisa dijadikan semacam yurisprudensi bagi hakim yang lain untuk dapat membedakan antara perkara pidana murni dengan perkara pidana yang melibatkan produk jurnalistik. Sehingga perlu dicatat. Dalam UU Pers, kata Hinca, pertanggungjawaban pers hanya dapat dibebankan kepada perusahaan atau korporasi yang sanksinya hanya berupa denda. Bukan sanksi penjara kepada jurnalis maupun pemimpin redaksinya.

 

Tahun

Perkara

Putusan Pengadilan

2007

Perdata, ‘Marimutu Sinivasan Vs  Koran Tempo

Putusan Kasasi MA menolak gugatan Marimutu

2007

Perdata, Lendo Novo Vs Investor Daily dan Arief Poyuono

PN Jaksel menyatakan gugatan tidak dapat diterima

2006

Pidana, Teguh Santosa , Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka didakwa melakukan penodaan agama

PN Jaksel menyatakan dakwaan tidak dapat diterima

2005

Pidana, Bambang Harymurti, Pimred Tempo didakwa melakukan pencemaran nama baik

PT DKI menyatakan gugatan Tommy Winata tidak dapat diterima

2005

Perdata, Tommy Winata Vs Tempo di PN Jaksel

PT DKI menyatakan gugatan Tommy Winata tidak dapat diterima

1993

Perdata, Anif Vs Surat kabar Harian Garuda, Y Soeryadi, Syawal Indra, Irianto Wijaya, Yayasan Obor Harapan Medan.

Putusan Kasasi menolak gugatan Anif (penggugat)

Diolah dari berbagai sumber

 

Mengenai lex specialis, Rudy Satryo sependapat dengan Hinca. UU Pers, lanjut Rudy sebagaimana ditetapkan oleh yurisprudensi No 1608 K/Pid/2005 dalam perkara terdakwa Bambang Harymurti, harus dikedepankan dalam setiap delik pers. Hal tersebut dikarenakan Pasal 5 Ayat (1) dan  Ayat (2) dan Pasal 13 UU Pers sudah mencakup semua jenis tindak pidana yang berkaitan dengan pers. Ancaman hukuman atas pelanggarannya pun jelas, seperti terdapat dalam Pasal 18 Ayat (2) dan Ayat (3) UU Pers. Mengacu pada UU Pers, maka pertanggungjawaban dibebankan kepada korporasinya, jelas Rudy.

 

Sementara, Munarman dari Tim Advokat Forum Umat Islam (FUI), menolak konsep lex specialis dari UU Pers. Menurut mantan direktur LBH Jakarta ini, UU Pers dan KUHP tidak berada dalam rezim hukum yang sama. UU Pers hanya mengatur mengenai tata kelola pers, bukan mengenai pidana pers, tegasnya.

 

Lebih jauh Munarman mengatakan bahwa jika ada suatu tindak pidana pers, maka tidak tertutup kemungkinan untuk menghukum individu pelaku-pelakunya, selain menjatuhkan sanksi denda kepada korporasinya. Tindak pidana korporasi tidak menghalangi pertanggungjawaban secara individual pungkasnya.

 

Kamis (5/4) menjadi hari yang paling indah bagi Erwin Arnada. Betapa tidak. Pada hari itu, genap satu tahun keberadaan Majalah Playboy Indonesia (Playboy), yang berarti juga satu tahun kepemimpinannya di majalah berlogo kelinci itu. Di hari yang sama, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa perkaranya telah menjatuhkan putusan yang menyatakan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) tidak dapat diterima.

 

Efran Basyuning, ketua majelis hakim, mengatakan dakwaan JPU tidak dapat diterima karena JPU dinilai tidak cermat dalam menyusun dakwaan. Ketidakcermatan JPU, menurut Efran, terlihat dari tidak digunakannya UU No 40 Tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (UU Pers) di dalam dakwaan.

 

Efran menyatakan, berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan dapat diketahui bahwa Playboy merupakan produk pers. Playboy menurut Dewan Pers adalah produk pers, ungkap Efran.

 

Dengan demikian, lanjut Efran, UU Pers harus didahulukan dalam perkara Playboy ini. Efran berpendapat demikian karena ada asas hukum umum berbunyi ‘lex specialis derogat legi generalis', yang artinya peraturan yang lebih khusus mengeyampingkan peraturan yang lebih umum. Ketentuan mengenai lex specialis ini, menurut Efran, dapat terlihat dari bagian pertimbangan atau konsiderans UU Pers. Kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 harus dijamin, ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: