Sidang Great River Rusuh, Hakim Diselamatkan dari Ventilasi
Utama

Sidang Great River Rusuh, Hakim Diselamatkan dari Ventilasi

Di sandera diruangan kerjanya sendiri, hakim terpaksa kabur lewat atap. Polisi pun akhirnya turun tangan. Kekurangpahaman akan hukum acara di PHI menjadi pemicu kerusuhan.

Oleh:
CRK
Bacaan 2 Menit
Sidang Great River Rusuh, Hakim Diselamatkan dari Ventilasi
Hukumonline

 

Suasana mulai panas, pekerja mulai ada yang menendang pembatas setelah hakim memotong argumen kuasa hukum pekerja. Saat ditanya apakah pekerja siap dengan buktinya, pekerja ngotot bahwa mereka akan melanjutkan sidang bila gugatan 5.582 pekerja dapat diadili di PHI Jakarta. Hakim mulai meninggalkan ruang sidang, bersamaan dengan jatuhnya kursi dan pembatas ruang sidang.

 

Memang pasal 81 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) menyatakan bahwa gugatan harus diajukan di tempat kerja masing-masing. Aturan ini menyimpang dari apa yang diatur oleh HIR/RBg yang menyatakan tempat pengajuan gugatan ialah pada domisili tergugat.

 

Baso Rukman, kuasa pekerja yang mengaku bukan sarjana hukum, berpendapat PHI adalah pengadilan yang tidak cepat murah dan sederhana. Menurut dia PHI perlu memberitahukan hal ini sebelumnya kepada pekerja. Pasalnya, masalah demi masalah menimpa pekerja GRI dalam menuntut haknya.

 

Menurut Baso pekerja sempat mencabut dan berkali-kali diminta oleh PHI untuk memperbaiki gugatannya. Tapi pekerja tak pernah menerima informasi soal pemisahan pengajuan perkara berdasarkan tempat pekerja bekerja.

 

Meski terjadi kerusuhan dua anggota majelis perkara GRI, Sri dan Junaedi, mengaku siap jika persidangan bisa dilanjutkan dengan sisa penggugat 577 orang. Kita hanya menunggu perintah ujar Sri.

 

Khusus bagi PHI ini bukan ‘penyerbuan' pertama kali. Pekan lalu, peristiwa serupa terjadi di PHI Banjarmasin. Pekerja marah karena ditolak permohonan sitanya dan menyandera sang hakim.

 

Juru Bicara Mahkamah Agung Djoko Sarwoko menyayangkan kerusuhan tersebut, meski memahami kesulitan yang dialami para pekerja. Tetapi ada prosedur harus ditempuh. Semua pihak harusnya dapat menahan diri ujarnya. menurutnya bila hakim ditekan maka imparsialitasnya dapat terganggu. Ia menganggap perilaku pekerja sesuatu yang sangat buruk. Itu adalah bentuk pemaksaan.

 

Lanjut Djoko Indonesia memang belum memiliki aturan khusus tentang contempt of court. Ketertiban jalannya persidangan  akan diatur dalam RUU KUHP. Walau tidak spesifik sebenarnya KUHP pun memiliki beberapa ketentuan. Tatatertib diruang sidang juga sudah diatur dalam surat keputusan Menkeh.

 

Keamanan hakim memang perlu juga dipikirkan. Pengadilan seharusnya mengantisipasi rencana kedatangan massa. Pengadilan harus berkordinasi dengan aparat kepolisian untuk menghindari pengerahan massa yang misalnya bertujuan menekan para hakim.

 

Luhut Pangaribuan, advokat berpengalaman yang juga dosen praktik hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menganggap salah satu kemungkinan sebab kerusuhan ialah persoalan keamanan. Pengadilan dianggapnya kurang persiapan sebelum mengadili perkara tertentu. Biasanya cuma ada satpam dan kalau tidak cukup bisa minta polisi sebelum mengadili. Jadi sebenarnya (pengadilan-red) bisa cepat tanggap ujarnya. Mekanisme internal pengamanan juga dinilai tidak beres.

Menurutnya keamanan harus dipikirkan oleh PHI maupun pengadilan lainnya.

 

Kurang paham hukum acara

Tampaknya kandasnya gugatan terkait dengan kurangnya penguasaan akan hukum acara di PHI. Sri Razziaty, anggota majelis yang terpaksa turun dari atap gedung tanpa alas kaki mengklaim dirinya mengerti perasaan buruh. Tetapi menurutnya putusan tersebut telah memiliki alasan yang cukup. Kita sudah sangat hati-hati dalam memberikan pertimbangannya ujarnya setelah berhasil menyelinap keluar gedung  dengan rok terkena tanah. Ia menambahkan seharusnya kuasa hukum pekerja, Baso Rukman, tahu peraturan perundang-undangan, mengingat posisinya sebagai mantan pengadil di P4P.

 

Anggota majelis lainnya yakni Junaedi, membenarkan bahwa memang ada beberapa perkara PHI kandas karena kesalahan yang sederhana, meski banyak juga yang diterima. Tidak semua melek hukum acara ujarnya. Hal ini terutama orang yang bukan berlatarbelakang hukum, meski pengacara juga tak lepas dari kesalahan ini. Sebenarnya intinya itu ialah UU PPHI tukasnya.

 

Berbeda dengan P4D dan P4P yang cenderung memihak buruh, Djoko Sarwoko berpendapat hakim PHI harus bersikap netral. P4D dan P4P ialah layaknya peradilan semu, mereka tidak punya kewenangan melaksanakan putusan. Sedangkan  PHI memiliki tersebut. Ini bukan soal lemah dan kuat, intinya ialah rasa keadilan berdasarkan hukum tandasnya. 

 

Solusi masalah ketidaktahuan menurut Djoko ialah Serikat Pekerja Seluruh Indonesia harus mengusahakan para penasehat hukum. Akan lebih baik lagi bila Organisasi pekerja menempatkan penasehat hukum di setiap PHI. Hendaknya pengacara jangan hanya menangani perkara besar, tetapi turut perkara pekerja yang tidak mampu. 

 

Seperti layaknya di Pengadilan Tata Usaha Negara dismissal process juga dimungkinkan. Sekedar mengingatkan, dismissal process ialah  pemeriksaan pendahuluan untuk melihat kelengkapan syarat administratif.  Meski untuk itu, perlu ada payung hukumnya simpul Djoko.

 

Pembacaan putusan sela sidang Great River International (GRI) menjadi akhir persidangan hari Kamis (29/03) bagi anggota majelis Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta. Padahal sebelumnya baru satu perkara yang disidangkan oleh majelis itu yang terdiri dari Lilik Mulyadi, Sri Razziaty Ischaya dan Junaedi. Hidup tujuh bulan tanpa gaji dan kejelasan benar-benar menguji kesabaran pekerja, sekitar 60 pekerja mengamuk. Mereka membanting bangku pengunjung serta menendang pembatas pengunjung ruang sidang. Majelis terpaksa diselamatkan dari amukan massa.

 

Tak puas, para pekerja kemudian memaksa masuk ruang kerja para hakim untuk meminta berbicara dengan majelis. Salah satu hakim ad hoc dari kalangan pekerja terpaksa turun tangan menenangkan massa disusul aparat kepolisian. Akhirnya massa tenang dan mengurungkan niat untuk mendobrak ruangan hakim.

 

Dua jam kemudian, ternyata ruangan hakim tersebut kosong.  Tak lama berselang, hukumonline berpapasan dengan dua orang hakim saat mereka menuruni tangga kayu dari atap. Setelah ditelusuri ternyata para hakim berhasil keluar dengan menaiki tangga dari ruang kerja hakim dan memecahkan lubang ventilasi yang tertutup kaca dan memanjat atap gedung pengadilan. Beberapa orang di luar gedung sebelumnya juga mengaku melihat mereka berjalan merunduk di atas genting.

 

Kemarahan pekerja bermula dari ketidakpuasan atas putusan sela majelis. Sebagian eksepsi dari GRI terkait kompetensi relatif PHI Jakarta diterima. Dari 5.582 pekerja yang menggugat hanya 577 orang pekerja yang dapat melanjutkan gugatannya di PHI Jakarta. Mereka ialah pekerja yang bekerja pada kantor pusat Great River di Jakarta. Sisanya, 5.005 pekerja bekerja pada pabrik-pabrik GRI di Cibinong, Purwakarta dan Cikarang diharuskan majelis untuk mengajukan gugatan di PHI Bandung.

 

Setelah membaca putusan, Ketua Majelis Lilik Mulyadi kemudian menanyakan apakah pekerja akan mengajukan kasasi (bersamaan dengan putusan akhir) atas putusan sela tersebut. Tetapi kuasa hukum pekerja masih berusaha mengajukan argumen. 

Tags: