Keabsahan PERADI sebagai Organisasi Makin Dipertanyakan
Berita

Keabsahan PERADI sebagai Organisasi Makin Dipertanyakan

Penggugat tidak segan menyebut PERADI telah melakukan kebohongan terkait dengan pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam deklarasi pendirian PERADI.

Oleh:
CRH
Bacaan 2 Menit
Keabsahan PERADI sebagai Organisasi Makin Dipertanyakan
Hukumonline

 

Penggugat lalu mengungkap ‘sisi gelap' sejarah berdirinya PERADI. Penggugat membantah pernyataan tergugat yang menyebut PERADI didirikan pada 21 Desember 2004 oleh para advokat Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).

 

Sepengetahuan penggugat, PERADI dibentuk hanya oleh segelintir orang dari pengurus Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang meliputi IKADIN, AAI, APHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM, dan APSI. Karena itu, penggugat tidak segan menyebut PERADI telah melakukan kebohongan terkait dengan pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam deklarasi pendirian PERADI.

 

Kalaupun PERADI punya AD/ART, tandas penggugat, maka AD/ART tersebut dirumuskan hanya oleh segelintir orang, bukan oleh seluruh anggota organisasi advokat melalui putusan Musyawarah Nasional (Munas). Mengenai hal ini, tergugat pernah menyatakan bahwa Anggaran Dasar PERADI dituangkan dalam akta pernyataan Pendirian Perhimpunan Advokat Indonesia No. 30, tanggal 08 September 2005, yang dibuat di hadapan Notaris Buntario Tigris Darmawa Ng.

 

Di mata penggugat, ketika menyelenggarakan ujian advokat pada 04 Februari 2006 lalu, PERADI memiliki kesalahan ganda. Selain karena secara organisasi tidak sah, juga karena PERADI menyelenggarakan ujian advokat tanpa sepengetahuan dan seijin Departemen Pendidikan Nasional. Pasal 62 dan 67 jo pasal 71 UU No. 71 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional itu berlaku umum, ujar Lubis.

 

Pasal 67 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 menegaskan bahwa perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau advokasi tanpa hak dipidana dengan dengan pidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau pidana denda paling satu miliar rupiah.

 

Dalam replik, penggugat masih juga menyertakan alasannya mengapa mengajukan gugatan dengan model Class Action (gugatan kelompok). Penggugat berpayung pada PERMA No. 1 Tahun 2002, dimana majelis hakim yang menangani perkara ini telah membuat penetapan tertanggal 20 Juli 2006 yang menyatakan gugatan model ini sah ditempuh.

 

Tidak Ajukan Duplik

Ditemui usai sidang, kuasa hukum tergugat, Daniel Panjaitan, mengaku tidak akan mengajukan duplik. Sudah jelas kok. Kita langsung ke pembuktian saja biar lebih efisien, tuturnya.

 

Langkah yang diambil Daniel bisa dimengerti. Sebab, untuk membela PERADI, dia harus bersidang dua kali sepekan. Selain dalam perkara ini, PERADI juga digugat oleh M. Cholil Saleh cs dalam perkara lain dengan nomor registrasi 100/Pdt.G/2006. Dalam perkara yang disebut terakhir ini, PERADI digugat bersama-sama dengan Panitia Ujian Profesi Advokat (PUPA).

 

Dengan demikian, sidang yang dipimpin Andriani Nurdin ini akan dilanjutkan dengan pembuktian. DH Lubis, salah seoarang kuasa hukum  penggugat, menyatakan telah menyiapkan data-data yang diperlukan untuk pembuktian dalam persidangan yang akan digelar 29 November nanti.

 

Meminjam ucapan penyanyi Joshua, gugatan class action yang diajukan M. Cholil Saleh cs terhadap Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) tidak ubahnya jeruk minum jeruk. Pasalnya, pihak-pihak yang berperkara memang tak lain adalah para sarjana hukum yang tahu betul persoalan hukum. Maka, menjadi lumrah bila mereka dengan mudah dapat mencari celah-celah hukum yang bisa digunakan untuk memenangkan perkara ini.

 

Hal itu bisa dilihat pada sidang lanjutan perkara dengan nomor registrasi 168/Pdt.G/2006 di PN Jakarta Pusat, Rabu (22/11). Kuasa hukum penggugat tidak patah arang untuk terus menelisik keabsahan organisasi PERADI. Dalam repliknya, DH Lubis, salah seorang kuasa hukum penggugat, membeberkan beberapa hal untuk menegaskan bahwa PERADI merupakan organisasi yang cacat hukum.

 

Dalam jawaban yang disampaikan pada sidang sebelumnya, tergugat menyatakan bahwa PERADI adalah organisasi advokat yang tunduk pada UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, untuk membedakan diri dengan organisasi massa (ormas) yang tunduk pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas. Konsekwensi hukumnya, PERADI tak harus terdaftar di Departemen Hukum dan HAM dan Departemen Dalam Negeri.

 

Penggugat rupanya tidak puas dengan jawaban tersebut. Penggugat mensommer minta agar tergugat menyatakan secara tegas dan konkret dengan pembuktian, apakah termasuk organisasi  profesi atau merupakan badan hukum? tandas Lubis.

Tags: