Pasca UU No. 12/2006, Bagaimana Nasib Perkawinan Campuran?
Utama

Pasca UU No. 12/2006, Bagaimana Nasib Perkawinan Campuran?

Dengan unifikasi, kelak tidak ada lagi KUA dan Kantor Catatan Sipil. Tempat pengurusan perkawinan akan hanya terpusat pada satu tempat saja. Masalah agama menjadi urusan pribadi masing-masing.

Oleh:
Rzk/CRI
Bacaan 2 Menit
Pasca UU No. 12/2006, Bagaimana Nasib Perkawinan Campuran?
Hukumonline

 

Pencatatan perkawinan campuran

Namun, angin segar yang dihembuskan UUKW ternyata belum cukup bagi Enggi serta 200 pelaku perkawinan campuran lainnya yang tergabung dalam KPC Melati. Enggi melihat masih ada beberapa aspek dari perkawinan campuran yang belum diakomodir baik dalam UUKW maupun peraturan pelaksananya. Salah satunya mengenai pencatatan perkawinan campuran apabila dilangsungkan di luar negeri. Selama ini pengaturan mengenai pencatatan perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri merujuk pada UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 56 menyatakan bahwa setiap pasangan yang menikah di luar negeri diharuskan mencatatkan perkawinannya ke pejabat yang berwenang yakni kantor catatan sipil dalam jangka waktu 1 tahun sejak mereka menetap/tinggal di Indonesia.

 

Menurut Enggi, ketentuan dalam UU Perkawinan sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dijalankan. Namun, fakta berbicara lain karena sepengetahuannya, masih banyak pasangan perkawinan campuran yang melangsungkan di luar negeri yang belum/tidak mencatatkan perkawinan mereka. Enggi menduga hal ini terjadi karena aturan-aturan yang ada tidak akomodatif. Selain itu, pasangan perkawinan campuran tidak jarang pula dijadikan sapi perahan oleh oknum-oknum tertentu yang mengejar materi.

 

Enggi menambahkan adanya ketentuan-ketentuan yang tidak akomodatif bagi pasangan perkawinan campuran di Indonesia dikarenakan secara sejarah Indonesia bukan negara imigran seperti Amerika Serikat, Perancis, dan Inggris. Di luar itu, dia melihat adanya kecenderungan negara-negara dengan sistem hukum Anglo Saxon lebih memberlakukan ketentuan dan prosedur yang lebih simpel dibandingkan negara-negara penganut sistem hukum Eropa Kontinental. Ini memang dilematis, WNI mau tunduk kepada hukum tapi celaka, sebaliknya kalau tidak tunduk kepada hukum status (perkawinannya, red.) menjadi tidak jelas, sambungnya.

 

Sementara itu, Muhammad Zuhri, staf pencatatan perkawinan Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta, mengatakan lalai melakukan pencatatan akan berdampak serius. Pasalnya, apabila batas waktu maksimal 1 tahun tidak melaporkan dalam batas waktu yang ditentukan, maka akan berpengaruh pada status kewarganegaraan WNI yang bersangkutan. Dalam tahun 2006, menurut catatan Zuhri, ada 70 perkawinan diluar negari yang telah dicatat.

 

Pernah ada kasus, perempuannya orang Indonesia, lakinya orang belanda, menikah di Belanda. Sampai dengan 3 tahun perkawinannya, tidak pernah dilaporkan ke kita, maka secara otomatis terjadi naturalisasi kewarganegaraan perempuan menjadi Belanda. Nah ketika perempuan tadi mau menggugat cerai di PN di Indonesia, ditolak, cerita Zuhri memberikan salah satu contoh.

 

Perkawinan campuran beda agama

Masalah buat pasangan perkawinan campuran semakin komplek karena tidak jarang perkawinan antar pasangan lintas negara juga lintas agama. Untuk masalah ini, Enggi melihat sistem hukum Indonesia masih menerapkan perlakuan yang beda antara perkawinan antar sesama muslim dengan yang non muslim. UU No. 1 Tahun 1974 menerapkan prosedur yang lebih simpel bagi pasangan muslim karena perkawinan mereka langsung dinyatakan sah begitu dikeluarkannya Akta Pernikahan dari Kantor Urusan Agama (KUA). Sementara, untuk pasangan yang non muslim diperlukan satu tahap lagi setelah pengesahan oleh pemuka agama, yakni pencatatan di Kantor Catatan Sipil.  

 

Terkait hal ini, Enggi mengusulkan agar dilakukan unifikasi pencatatan perkawinan tanpa melihat latar belakang agama dari pasangan yang menikah. Menurut Enggi, UU Perkawinan seharusnya hanya mengatur tata cara formil sahnya suatu perkawinan, dan tidak memasukkan unsur agama. Jadi, dengan unifikasi nantinya tidak ada KUA dan Kantor Catatan Sipil, tempat pengurusan perkawinan akan hanya terpusat pada satu tempat saja. Masalah agama menjadi urusan pribadi masing-masing, ujar Enggi yang menegaskan bahwa pendapatnya ini adalah pendapat pribadi bukan KPC Melati.

 

Untuk merealisasikan gagasannya ini, Enggi mengharap kelahiran UUKW dapat memunculkan efek domino berupa perbaikan peraturan perundang-undangan yang terkait, salah satunya adalah UU Perkawinan.

 

UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (UUKW)memang dapat dikatakan sebagai salah satu dari sedikit produk fenomenal di bidang legislasi yang berhasil dihasilkan DPR-RI periode 2005-2009. Begitu fenomenalnya sampai komunitas Keluarga Perkawinan Campuran Melalui Tangan Ibu (KPC Melati) berani mengklaim undang-undang yang resmi disahkan pada 11 Juli 2006 itu sebagai Karya Agung Anak Bangsa.

 

Ekspresi yang sangat lumrah mengingat KPC Melati merupakan salah satu kalangan yang hak-haknya menjadi lebih jelas dan terjamin berkat lahirnya UU No. 12/2006. Mulai dari status perkawinan, status kewarganegaraan pasangan, sampai persoalan yang paling klasik sekalipun yakni soal status anak hasil perkawinan mereka. Alhamdulillah, sejak UU No. 12 Tahun 2006 ini lambat laun sudah diakomodir hak-hak perkawinan campuran, tukas Ketua KPC Melati Enggi Holt dalam acara Seminar Kewarganegaraan RI Pasca UU No. 12/2006 yang diprakarasi DPC AAI Jakarta Selatan (12/10).

 

Enggi mengatakan walaupun belum sepenuhnya diakomodir, UUKW telah cukup memberi angin segar bagi para pasangan perkawinan campuran. Salah satu pasal yang menurut Enggi menggambarkan dengan jelas jaminan terhadap hak-hak pasangan perkawinan campuran adalah Pasal 19. Ayat (1) dari pasal ini dinyatakan bahwa Warga negara asing yang kawin secara sah dengan Warga Negara Indonesia dapat memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan Pejabat.

 

Pada ayat berikutnya, disebutkan bahwa untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka selain menyampaikan pernyataan kepada pejabat, warga negara asing yang menikahi WNI dipersyaratkan telah bertempat tinggal di wilayah negara RI paling singkat 5 tahun berturut-turut  atau paling singkat 10 tahun tidak berturut-turut. Ketentuan kemudian langsung ditindaklanjuti dengan Departemen Hukum dan HAM yang mengeluarkan Permenhukham M. 02-HL.05.06 Tahun 2006 tentang Tata Cara Menyampaikan Pernyataan untuk Menjadi WNI.

Tags: