Hak-Hak Buruh Migran Perempuan Masih Terancam
Berita

Hak-Hak Buruh Migran Perempuan Masih Terancam

Buruh migran perempuan dipandang sebagai alat pembangunan daripada sebagai manusia yang memiliki hak asasi.

Oleh:
M-4
Bacaan 2 Menit
Hak-Hak Buruh Migran Perempuan Masih Terancam
Hukumonline

 

Selama ini buruh migran perempuan mengacuhkan hak-hak mereka karena tidak ada pekerjaan lain. Sementara kebutuhan finansial untuk keluarga harus ditanggung. Disamping itu mereka selalu dibayangi ketakutan akan dideportasi dan dipenjara karena tidak punya tanda identitas, ketakutan akan kekerasan yang dilakukan agen, pedagang manusia maupun majikan mereka. Belum lagi agen tersebut tidak segan-segan melakukan kekerasan terhadap keluarga mereka di tanah air.

 

Buruh migran dan bisnis internasional

Wakil dari organisasi buruh perempuan Tenaganita Malaysia, Irene Fernandez mengatakan fenomena migrasi buruh menjadi trend global. Pada tahun ini jumlahnya meningkat menjadi sejumlah 190 juta orang. Migrasi tersebut terutama dilakuan oleh warga Indonesia, Filipina dan Srilanka dalam mencari pekerjaan yang lebih baik.

 

Irene juga menambahakan bahwa migrasi adalah bisnis besar yang sangat terorganisir, terstruktur dan tersistem dalam menghasilkan uang. Maka pekerja migran perempuan hanya dianggap objek bisnis dan tidak diposisikan sebagai manusia yang memiliki hak. Kebanyakan dari mereka dipekerjakan di sektor yang tidak layak, seperti pembantu rumah tangga, pekerja seks dan ditempatkan di dunia hiburan.

 

Pendapat tersebut diamini Jean, menurutnya  ada tarik menarik kepentingan antara negara pengirim dan penerima  tentang arti penting  bermigrasi. Keberadaan buruh migran bagi negara penerima membuat pembangunan dapat terlaksana. Namun negara penerima akan berusaha untuk mendapatkan tenaga murah.  Dengan begitu Mereka merasa tidak perlu bernegosiasi dengan negara pengirim untuk memberikan hak-hak buruh migran. Salah satu faktor penyebabnya adalah jumlah buruh migran perempuan yang banyak membuat negara penerima punya banyak pilihan untuk lebih mempekerjakan buruh migran murah yang tidak terlalu banyak menuntut hak-haknya

 

Malaysia, lanjut Irene sebagai salah satu negara penerima buruh migran membuat pengaturan bagi buruh migran. Pengaturan yang dibuat pemerintah Malaysia secara teori ditujukan untuk menggurangi prostitusi dan menjaga moralitas masyarakat. Namun pada prakteknya buruh migran menjadi korban dari peraturan yang memposisikan perempuan sebagai pelanggar hukum daripada sebagai korban bisnis pengiriman manusia. Banyak buruh migran dipenjara karena tidak memegang dokumen untuk tinggal. Sehingga nasib mereka harus berakhir di tiang gantungan, di dalam penjara atau dideportasi ke negara asal.

 

Di Malaysia terjadi upaya mengembalikan buruh migran ke tempat asalnya karena dianggap menggangu. Pemerintah Malaysia membentuk pasukan Rela dan memberikan hadiah 60.000 ringgit malaysia untuk menangkap 10 buruh migran ilegal untuk dihukum dan dideportasi. Meski terjadi pertentangan antara mekanisme deportasi dengan hak asasi manusia pemerintah Malaysia tetap melaksanakan deportasi.

 

Sebenarnya menurut beliau masih terbuka ruang untuk memperbaiki kondisi tersebut yakni dengan memandang perempuan sebagai korban dari bisnis migrasi dan bukan sebagai pelanggar hukum. Buruh migran baik berdokumen maupun tidak berdokumen harus dipahami sebagai manusia seutuhnya yang memiliki tujuan hidup dan hak asasi. Atas dasar itulah negara pengirim perlu negosiasi yang baik tanpa harus kehilangan kesempatan penyerapan tenaga kerja buruh migran.

 

Perlindungan TKI

Menurut Ketua Komnas Perempuan Kamala Chandrakirana perlindungan negara atas buruh  yang bekerja di luar negeri sangat mengecewakan. Menurutnya pemerintah tidak mampu mengambil langkah-langkah efektif untuk memberikan perlindungan komprehensif bagi para buruh migran Indonesia.

 

Keberadaan Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Tenaga Kerja Luar Negeri yang  sudah berjalan hampir dua tahun sekedar memberi legitimasi hukum. Kecenderungan yang ada selama ini menyangkal keberadaan para pekerja yang bermigrasi tanpa dokumen resmi. Proses migrasi dari tenaga kerja kita dianggap sebagai permasalahan prosedural belaka dan bukan sebagai persoalan HAM. Kondisi ini  tidak memberikan jalan keluar yang nyata untuk memberikan perlindungan buruh migran perempuan.

 

Sementara itu Irene mengatakan Indonesia perlu memperkuat negoisiasi dengan negara penerima seperti Malaysia. Selama ini Malaysia telah melakukan negosiasi dan menandatangani MOU perlindungan buruh dengan Indonesia dan Filipina. Namun Indonesia lemah dalam menegosiasikan hak-hak buruh migrannya, dimana buruh migran Filipina mendapat perlindungan hak lebih baik daripada Indonesia.

 

Hal tersebut diakui oleh Komnas Perempuan, menurutnya MOU itu tidak berperspektif HAM dan gender. Komnas Perempuan telah meminta dibuat pengaturan khusus untuk melindungi pekerja rumah tangga, tetapi ternyata dalam pembuatan MOU itu Komnas perempuan tidak dilibatkan dalam proses perumusan maupun perundingannya.

 

Menanggapi hal tersebut Duta Indonesia untuk PBB Makarim Wibisono mengatakan Indonesia sudah memiliki aturan perlindungan terhadap wanita baik Undang-Undang maupun konvensi yang diratifikasi. Namun anggaran yang ada terbatas untuk mewujudkan isi dari aturan tersebut. Selain itu Indonesia kesulitan dalam mempengaruhi negara lain untuk melindungi buruh migran.

 

Sebagai wakil Indonesia di PBB Makarim mengatakan  kecewa dengan laporan  yang dibuat oleh sekjen PBB Khofi Anan saat dialog tingkat tinggi di PBB. Ternyata dalam laporannya Kofi Annan lebih melihat pekerja migran sebagai alat dari pembangunan. Hal tersebut tidak konsisten dengan pernyataannya kepada masyarakat internasional bahwa PBB berlandaskan tiga kaki yaitu keamanan, pembangunan dan Hak Asasi Manusia. Padahal permasalahan migrasi tidak bisa dilihat dari perspektif pembangunan saja, karena di samping itu ribuan orang sudah menjadi korban pelanggaran HAM.

 

Menurut Makarim Indonesia perlu melakukan langkah determinasi politik untuk menghapuskan pelanggaran hak-hak buruh migran. Makarim optimis bahwa hak-hak buruh migran Indonesia dapat diperjuangkan dengan perjuangan hukum kesadaran dari masyarakat dan political will pemerintah. Indonesia juga perlu memberi masukan dalam pertemuan tingkat tinggi PBB di Bulan September nanti . Kalau apartheid saja bisa hilang dari bumi ini, buruh migran juga harus terlindungi, jelas Makarim.

 

Ketika ditanyakan tentang kondisi buruh migran Filipina yang lebih baik daripada Indonesia, Makarim menjawab Filipina melindungi hak-hak buruh migrant lebih baik karena memandang buruh migran dalam satu bahasa. Buruh migran dianggap telah memberikan sumbangan pada kepentingan nasional, maka Filipina melakukan  proteksi nasional. Sementara di Indonesia buruh migran dianggap sebagai sumber uang dan pemerasan.

Jumlah buruh migran Indonesia sangat signifikan, dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Berdasarkan data Komisi Nasional Perempuan (2001) berjumlah 372 ribu orang. Tahun 2002 sebanyak 585 ribu orang, tahun berikutnya berjumlah 340 ribu orang, pada Januari-Juli 2004  sebanyak 97 ribu orang. Dari jumlah tersebut 73 persen merupakan buruh migrant perempuan. Sebanyak 88 persen dari jumlah tersebut bekerja sebagai pekerja rumah tangga.

 

Pada Seminar yang diselenggarakan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan (27/7) Homayoun Alizadech, wakil dari OHCR PBB wilayah Asia Tenggara, memaparkan buruh migran perempuan memiliki peluang ekonomi bagi pembangunan. Jumlahnya  lebih dari separuh populasi migran. Di Indonesia sendiri berdasarkan sumber Depnakertrans, dari tahun 2001 hingga Juli 2004 mencapai 3,236 miliar dolar AS atau Rp 29,12 triliun. Jumlah tersebut belum termasuk buruh migran tidak berdokumen yang jumlahnya diperkirakan lebih besar.

 

Sebenarnya hak-hak buruh migran baik berdokumen maupun tidak berdokumen telah dilindungi dengan instrumen hukum seperti di dalam pasal 22 dan 56 Konvensi hak buruh migran dan keluarganya, CEDAW, Deklarasi HAM PBB serta Konvensi tentang Perdagangan Manusia.

 

Hukum nasional seharusnya lebih melindungi buruh perempuan. Namun bukannya melindungi buruh perempuan, hukum nasional justru melakukan diskriminasi. Negara pengirim TKW cenderung membuat pengaturan diskriminatif seperti buruh wanita dilarang membawa suami dan anak mereka, persyaratan tes kehamilan, pelarangan pergi ke luar negeri tanpa persetujuan wali, serta tidak jelasnya pemberian batas umur bagi pekerja wanita.

 

Menurut Homayoun, ranah privat sebagai lingkup pekerjaan domestik membuat mereka sulit tersentuh hukum karena majikan memiliki kekuasaan yang absolut. Majikan umumnya menyimpan dokumen untuk menekan mereka. Ketika mereka lari dari majikan, maka mereka berstatus ilegal dan dianggap melanggar hukum.

Halaman Selanjutnya:
Tags: