Definisi Keuangan Negara Kembali Diperdebatkan
Berita

Definisi Keuangan Negara Kembali Diperdebatkan

Beberapa ahli berpendapat keuangan negara dalam BUMN/BUMD adalah sebatas saham di perusahan itu. UU Korupsi hanya bisa diterapkan dalam penjualan saham secara melawan hukum. Namun negara tetap bisa melakukan upaya hukum perdata maupun pidana berdasarkan undang-undang selainnya.

Oleh:
M-4
Bacaan 2 Menit
Definisi Keuangan Negara Kembali Diperdebatkan
Hukumonline

 

Pendapat senada disampaikan Direktur Informasi dan Akuntansi Ditjen Perbendaharaan Departemen Keuangan, Hekinus Manao. Cakupan keuangan negara menurut beliau sesuai Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara meliputi Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.

 

Pemahaman kedudukan keuangan negara berdasarkan ketentuan itu menurutnya terbatas pada kekayaan yang dipisahkan, yaitu sebesar modal yang disetor atau perubahannya. Kalau pemerintah memegang saham 50% maka penyertaannya ya  50%, jangan ditafsirkan aset BUMN identik dengan aset negara, jelasnya.

 

Hekinus menambahkan pemahaman yang keliru terjadi saat keuangan negara ditafsirkan sebagai seluruh aset BUMN/BUMD merupakan aset pemerintah. Jika demikian berarti seluruh piutang maupun utang BUMN/BUMD juga piutang pemerintah dan mestinya seluruh utang utang BUMN/D adalah utang pemerintah. Padahal , ketika suatu bagian kekayaan  negara masuk pada BUMN/BUMD maka bagian kekayaan pemerintah yang disertakan di dalamnya tunduk pada ketentuan rezim korporasi. 

 

Dengan demikian, masih menurut Hekinus, aturan tentang pertanggungjawaban kerugian negara dalam konteks BUMN/BUMD mengacu pada UU No.1 Tahun 1995 Perseroan Terbatas dan UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN.

 

Menanggapai hal itu Wakil Ketua Kadin Indonesia Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan dan kepabeanan, Hariyadi B. Sukamdani mengatakan kerancuan pengertian keuangan negara berdampak pada dunia usaha. Ketidakpastian hukum muncul sehingga stakeholders BUMN tidak berani mengambil keputusan strategis. Hariyadi mencontohkan kinerja perbankan yang menurun serta kasus korupsi tender KPU yang menyeret pengusaha membuat pihak swasta takut bekerjasama dengan pemerintah.

 

Hariyadi menambahkan kerugian dalam perusahaan kerap terjadi dan tidak selamanya akibat tindakan korupsi. Kerugian bisa terjadi karena mismanajemen, peningkatan biaya operasional atau penurunan penjualan. Selain itu, peranan persaingan tidak sehat serta kondisi krisis ekonomi makro seperti krisis ekonomi, moneter, turut berperan dalam kerugian perusahaan.

 

Maka tutur Hariyadi kerugian tersebut tidak dapat dikatakan sebagai korupsi, Sehingga harus dibedakan antara salah urus dengan mencuri, papar Hariyadi.

 

Erman Radjagukguk Guru Besar Fakultas Hukum UI menegaskan kekayaan negara menyangkut BUMN berbentuk Persero bukanlah harta kekayaan BUMN secara keseluruhan. Melainkan kekayaan negara yang dipisahkan  dalam BUMN yang berbentuk saham yang dimiliki oleh negara.

 

Erman menambahkan tindak pidana korupsi, baru dapat dikenakan pada orang yang menggelapkan surat berharga dengan jalan menjual saham tersebut secara melawan hukum sesuai Pasal 8 UU No.20 Tahun 2001 jo Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

Erman menilai ketentuan PP No.14 tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah adalah sebuah kesalahan. Pasal 19 dan 20 menyebutkan tata cara dan penghapusan secara bersyarat maupun mutlak piutang perusahaan negara/daerah diserahkan pada PUPN dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan begitu tidak ada pemisahan kekayaan BUMN Persero dengan kekayaan negara sebagai pemegang saham.

 

Ketentuan Undang-undang No.49 tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) mendefinisikan piutang negara atau hutang kepada negara sebagai jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara atau badan-badan baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai negara. Menurut Hekinus, aturan ini  sudah tidak sesuai dengan  dengan perkembangan dan tidak seharusnya digunakan lagi.

 

Aturan ini diterbitkan saat pemerintah RI mengambil alih perusahaan-perusahaan eks Belanda, sementara kedudukan perusahaan negara waktu itu berbeda. Karenanya, lanjutnya, seharusnya digunakan penafsiran lex posteriori derogat lex priori (hukum yang berlaku kemudian menghapuskan hukum yang berlaku terdahulu).

 

Erman emanmbahkan upaya hukum negara jika terjadi kerugian harus sesuai dengan mekanisme UU No. 1/1995 dan UU No. 19/2003. Erman khususnya menunjuk Pasal 54 ayat(2) UU No. 1/1995 dimana pemegang saham dapat menggugat direksi atau komisaris apabila keputusan mereka dianggap merugikan pemegang saham. Tuntutan pidana juga dapat dikenakan pada direksi BUMN/BUMND yang melakukan delik penggelapan, pemalsuan data dan laporan keuangan, pelanggaran Undang-undang Perbankan atau lainnya yang memuat ketentuan pidana.

Ketua Komisi Hukum Nasional, J.E Sahetapy dalam Diskusi Publik Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi minggu lalu mengatakan perlu kejelasan definisi secara yuridis dalam menentukan pengertian keuangan negara. Menurutnya pengertian keuangan negara masih tersebar dalam beberapa undang-undang. Diantaranya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 49 Prp. Tahun 1960, serta munculnya pasal piutang perusahaan negara dalam Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 Tentang Tata cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.

 

Pasal 1 angka 1 UU No.17/2003 mendefinisikan keuangan negara sebagai  semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu  baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Namun menurutnya, definisi keuangan negara tersebut belum jelas

 

Sahetapy mengatakan pihak yang pro perluasan definisi keuangan negara akan berpegang pada ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Apabila terjadi kerugian pada BUMN dan Persero, penegak hukum dan aparat negara menggunakan ketentuan pasal 2 huruf g Undang-Undang Keuangan Negara dan penjelasan umum Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Esensinya, penyertaan negara yang dipisahkan merupakan kekayaan negara yang menurut sifatnya berada dalam ranah hukum publik. Karenanya, apabila terjadi kerugian negara maka ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dapat diberlakukan pada pengurus BUMN.

 

Sementara pihak yang menginginkan penyempitan definisi keuangan negara terutama bagi BUMN, menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan penyertaan negara merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Ketika kekayaan negara telah dipisahkan maka kekayaan tersebut bukan lagi masuk ke dalam ranah hukum publik namun masuk ranah hukum privat.

Tags: