Undang-Undang Penodaan Agama akan dibawa ke MK
Utama

Undang-Undang Penodaan Agama akan dibawa ke MK

LBH Jakarta akan mengajukan judicial review terhadap Undang-undang No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Selama ini UU itu dipakai untuk menjerat penganut aliran yang dianggap sesat.

Oleh:
Nay
Bacaan 2 Menit
Undang-Undang Penodaan Agama akan dibawa ke MK
Hukumonline

 

Kasus aliran kepercayaan atau aliran yang mendapat cap sesat, selalu menimbulkan berbagai reaksi dalam masyarakat. Sebagian kasus itu berakhir di pengadilan, tapi banyak pula yang tak jelas kelanjutannya. Satu hal yang pasti, pasal yang digunakan untuk menjerat para pimpinan aliran adalah pasal 156 a KUHP dan UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.

 

Pasal 156 a KUHP memberi ancaman pidana lima tahun penjara bagi mereka yang dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Juga bagi mereka yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

 

Tim Pakem

Perlu disampaikan, sebenarnya Pasal 156a KUHP tidak berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, melainkan dari UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Pasal 4 undang-undang tersebut langsung memerintahkan agar ketentuan di atas dimasukkan ke dalam KUHP.

 

Pasal 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tegas menyebutkan larangan mengusahakan dukungan umum dan untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama. Ketentuan pasal ini selengkapnya berbunyi: "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang utama di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu".

 

Menurut Gatot, bila kelak MK mengabulkan permohonan tersebut dan membatalkan UU No1/PNPS/1965 maka berbagai peraturan yang mengacu pada Undang-undang tersebut otomatis batal, seperti keputusan Jaksa Agung RI No KEP-108/JA/5/1984 tentang pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem).

 

Berangkat dari Keputusan Jaksa Agung tersebut, dibentuk  tim Pakem di setiap provinsi dan kabupaten kota yang bertugas mengawasi aliran kepercayaan masyarakat. Tim ini terdiri dari   bupati, Kajari, Kapolres, Dandim , Ketua MUI dan lain-lain.

 

Dalam kesempatan itu, Gatot yang termasuk tim kuasa hukum LBH mewakili jamaah Ahmadiyah menegaskan, kelompok tersebut akan melaporkan penganiayaan dan perusakan markas mereka di Parung ke polisi dalam waktu dekat.

 

Sementara itu, Sution Usman Aji, Kepala Subdit Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat dan Keagamaan pada Jaksa Agung Muda Intelijen Kejaksaan Agung, menyatakan bahwa penanganan kasus Ahmadiyah sebagai aliran sesat oleh Kejaksaan masih menunggu perintah dari Jaksa Agung.

Pengacara LBH Muhammad Gatot mengungkapkan, draf permohonan judicial review tersebut sedang disiapkan. Diharapkan paling lambat bulan depan permohonan sudah dapat dikirim ke Mahkamah Konstitusi. Rencana permohonan judicial review sebenarnya sudah lama disiapkan oleh LBH. Merebaknya kasus jamaah Ahmadiyah belakangan ini, menurut Gatot, semakin menunjukkan urgensi pengajuan judicial review tersebut.

 

Dasar permohonan judicial review adalah karena isi UU No 1/PNPS/1965 bertentangan dengan Undang-undang Dasar. Pasal 28 Undang-undang Dasar memberikan kebebasan pada seseorang untuk menganut suatu kepercayaan atau agama. Undang-undang No 1/PNPS/ 1965 jelas bertentangan dengan pasal 28 Undang-undang Dasar, ujar Gatot pada hukumonline (27/7).

 

Meski UU No 1/PNPS/1965 diundangkan jauh sebelum lahirnya UU Mahkamah Konstitusi, Gatot tetap optimistis MK akan menerima permohonan tersebut. Pasalnya, telah ada putusan MK yang membatalkan pasal 50 UU MK yang memberikan pembatasan terhadap UU yang bisa dimohonkan judicial review.

 

Kasus jamaah Ahmadiyah hanyalah contoh terbaru dari  berbagai kasus aliran kepercayaan yang dianggap sebagai aliran sesat. Kemudian masih segar dalam ingatan, kasus shalat berbahasa Indonesia di Malang beberapa waktu lalu atau kasus sekte kiamat pendeta Mangapin Sibuea di Bandung.

Tags: