Pemahaman Hakim atas Kasus-Kasus KDRT Harus Ditingkatkan
Berita

Pemahaman Hakim atas Kasus-Kasus KDRT Harus Ditingkatkan

Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga membawa sejumlah terobosan dalam hukum acara. Pemahaman aparat penegak hukum, terutama hakim, perlu ditingkatkan.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Pemahaman Hakim atas Kasus-Kasus KDRT Harus Ditingkatkan
Hukumonline

 

Tabel

Perbandingan UU Penghapusan KDRT dan KUHAP

 

UU Penghapusan KDRT

KUHAP

Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (pasal 55)

Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya (pasal 185 ayat 2)

 

 

Asnifriyanti memberi contoh terobosan lain. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 menjadikan KDRT sebagai kejahatan. Selama ini hanya kekerasan seksual untuk tujuan ekonomi yang dianggap aparat hukum sebagai kejahatan. Disamping itu, terobosan lain adalah menyangkut rekam medis yang sudah bisa menjadi alat bukti terjadinya kekerasan.

 

Berkenaan dengan peringatan Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, Direktur Eksekutif Dana Kependudukan PBB (United Nations Population Fund Agency) DR Thoraya Ahmed Obaid mengingatkan bahwa hukum harus ditegakkan jika ingin mengatasi kekerasan terhadap perempuan dan anak. Salah satu prioritas, menurut DR Thoraya, adalah memberikan pelayanan hukum, psikososial dan kesehatan yang komprehensif terhadap korban KDRT. Saat memberi kata sambutan untuk peringatan hari ini, Thoraya menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak harus segera dihentikan.

Pentingnya aparat hukum untuk lebih memahami kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan undang-undang baru yang mengaturnya diungkapkan Wakil Ketua Komnas Perempuan Deliana Sayuti dan Ketua LBH APIK Asnifriyanti Damanik menjawab pertanyaan hukumonline di Jakarta (24/11). Keduanya ditanya dalam kaitan peringatan Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang jatuh pada setiap 25 November.

 

Perempuan yang pernah berkiprah selama 39 tahun sebagai hakim ini berpendapat bahwa hakim dan aparat hukum lain perlu lebih memahami terobosan-terobosan hukum yang terkandung dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Dengan berlakunya Undang-Undang tersebut, maka aparat hukum khususnya hakim harus mengubah paradigma dalam melihat kasus-kasus KDRT, sehingga mereka tidak lagi semata-mata berpijak pada KUH Pidana.

 

Deliana mengakui selama ini hakim selalu menggunakan konstruksi  penganiayaan pasal 351 KUHP jika menangani perkara-perkara KDRT. Kini, Undang-Undang No. 23 membawa pijakan yang lebih spesifik bagi hakim, polisi dan jaksa untuk menangani kasus-kasus serupa.

 

Untuk meningkatkan pemahaman hakim, Komnas Perempuan sudah menemui Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan. Menurut Deliana, dalam pertemuan yang digelar beberapa bulan lalu itu, Bagir menjanjikan akan memberikan kemudahan bagi pendamping atau relawan saat mendampingi korban KDRT di pengadilan.

 

Terobosan hukum

Undang-Undang Penghapusan KDRT yang mulai berlaku 22 September 2004 ini dinilai memuat sejumlah terobosan hukum dalam hukum acara pidana. Deliana mencontohkan terobosan terhadap asas ullus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi) yang diatur KUHAP. Menurut Deliana, Undang-Undang Penghapusan KDRT, keterangan saksi korban saja sudah cukup membuktian terdakwa bersalah (lihat tabel). Kalau hakim masih tetap berpatokan pada KUHAP, kasus-kasus KDRT sulit untuk ditindaklanjuti, ujar mantan Ketua PTTUN Jakarta itu.

Tags: