Revisi Undang-undang Kepailitan: Jangan Cuma Soal Kepailitan Asuransi
Fokus

Revisi Undang-undang Kepailitan: Jangan Cuma Soal Kepailitan Asuransi

Ada nuansa lain dalam rapat dengar pendapat antara pemerintah, yang diwakili Menteri Kehakiman dan HAM, dengan Komisi IX ketika membahas jadwal revisi Undang-undang Kepailitan (UUK). Rapat berlangsung Senin (17/05) lalu di Gedung DPR.

Oleh:
Leo/Amr
Bacaan 2 Menit
Revisi Undang-undang Kepailitan: Jangan Cuma Soal Kepailitan Asuransi
Hukumonline

 

Baik AJMI maupun Prudential, memiliki tingkat solvabilitas yang tinggi dan memiliki tingkat Risk Based Capital (RBC) yang signifikan. Bahkan, RBC Prudential mencapai 225 persen, jauh melebihi angka 100 persen yang ditentukan pemerintah. Dengan RBC 225 persen, artinya secara teknis, kalaupun semua klaim Prudential jatuh tempo seketika, perusahaan asuransi yang berpusat di Inggris ini mampu membayar 2,5 kali lebih besar dibandingkan yang seharusnya.

 

Di atas kertas, kalau hanya membayar kewajibannya yang beberapa miliar, bukan pesoalan bagi perusahaan sekaliber AJMI dan Prudential.

 

Daftar perusahaan asuransi yang pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga

 

No.

Waktu

Perusahaan

Dasar Permohonan

1.

Agustus 2000

PT Wataka General Insurance

Sengketa penjaminan (surety bond)

2.

Mei 2001

PT Asuransi Jiwa Namura Tata Life

Klaim pemegang polis

3.

Juni 2003

PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia

Sengketa deviden

4.

April 2004

PT Prudential Life Assurance

Sengketa pembayaran komisi

Sumber: Pusat Data hukumonline, 2004

 

Bila perusahaan sebesar AJMI dan Prudential sampai dinyatakan pailit, karena hutang yang nilainya tidak seberapa dibandingkan aset mereka, artinya ada persoalan besar di Undang-undang Kepailitan. Bukan sekedar persoalan siapa yang berwenang mengajukan permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi. Bukan sekedar bagaimana melindungi kepentingan pemegang polis bila perusahaan asuransinya dinyatakan pailit. Ada banyak persoalan di UUK maupun implementasinya. Isu mulai ‘terkontaminasinya' pengadilan niaga oleh praktek-praktek ‘kotor' di pengadilan negeri juga tidak bisa disepelekan dan harus secepatnya dicarikan solusi.

 

Menyelamatkan perusahaan sekarat

Memang sulit diterima ketika ada sebuah perusahaan yang besar, kondisi keuangannya sehat, jumlah aset melebihi kewajibannya bisa dinyatakan pailit gara-gara utang yang nilainya mungkin tidak seberapa dibandingkan kekayaan perusahaan tersebut. Secara logika, tentu banyak yang mempertanyakan bila perusahaan yang memiliki aset triliunan harus pailit akibat utang yang beberapa miliar. Dan ironisnya, belum tentu utang tersebut adalah kewajiban perusahaan yang sehat tadi. Contohnya, kasus kepailitan AJMI dan sekarang Prudential.

 

UUK seharusnya berfilosofi untuk menyelamatkan perusahaan yang sekarat, bukan mematikan perusahaan yang sehat. Filosofi ini yang kurang, kalau tidak bisa dikatakan tidak tercermin dalam putusan-putusan pengadilan niaga dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

 

Tapi, inilah UUK yang berlaku di Indonesia. Bila sebuah perusahaan terbukti secara sederhana punya satu utang yang jatuh tempo plus dua kreditur, sesehat apapun dia, bisa dinyatakan pailit. Majelis pengadilan niaga bisa berargumentasi bahwa mereka menjalankan undang-undang.

 

Sementara di sisi lain, puluhan perusahaan yang secara teknis tak mampu lagi melanjutkan usaha, keberadaan direksi dan komisarisnya tidak jelas ada dimana, aset perusahaan tinggal ruangan kantor dan meja yang penuh dengan debu, justru kerap lolos jerat dari kepailitan.

 

Cobalah perhatikan, dari puluhan permohonan pailit yang diajukan oleh BPPN hanya segelintir yang dikabulkan oleh pengadilan niaga. Hampir pasti, debitur-debitur yang diajukan pailit oleh BPPN, adalah perusahaan yang sakit, bahkan sekarat.

 

Majelis pengadilan niaga terkesan harus berpikir seribu kali untuk menyatakan pailit perusahaan yang secara teknis sudah tidak beroperasi lagi lantaran kesulitan keuangan.

 

Namun, inilah pengadilan niaga di Indonesia. Mereka punya argumen sendiri untuk memutuskan tidak memailitkan, walaupun perusahaan debitur secara teknis sudah collapse. Tak jarang, argumentasi pengadilan niaga untuk menolak memailitkan juga mendapat kritikan. Hal ini diperparah dengan isu KKN yang merebak di pengadilan tersebut. Jadi persoalan kepailitan di Indonesia, bukan cuma ada di undang-undang, tapi ada isu integritas dari hakim yang menjalankan undang-undang tersebut.

 

Sejatinya, hakekat kepailitan pastinya bukan untuk mematikan perusahaan yang sehat wal afiat. Mekanisme kepailitan pasti digunakan untuk menyelamatkan perusahan yang sekarat. Kalaupun yang sekarat tidak bisa diselamatkan, setidaknya hak dan kewajiban perusahaan itu tidak tertahan.

 

Barang-barang perusahaan yang pailit bisa dijual, hasil pembayarannya dibagi-bagikan ke kreditur-krediturnya. Kreditur juga perlu kepastian. Kalau memang setelah dinyatakan pailit debitur hanya sanggup membayar katakanlah sepuluh persen, tapi diputuskan berdasarkan mekanisme kepailitan, maka suka atau tidak suka harus diterima. Yang penting roda perekonomian bisa berputar.

 

Kasus Modernland

Jauh sebelum Manulife dan Prudential pailit, di tahun 1998 sebenarnya sudah ada kasus kepailitan yang menghebohkan. Ketika itu, PT Modernland Realty Tbk harus dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga karena dinilai mempunyai utang Rp97 juta. Utang tersebut timbul karena dua orang pembeli apartemen telah membayar Rp97 juta kepada Modernland. Namun, Modernland tak kunjung menyelesaikan pembangunan apartemen seperti yang dijanjikan.

 

Oleh pengadilan niaga, kewajiban Modernland kepada dua orang pembeli apartemen tersebut dianggap sebagai utang yang telah jatuh waktu. Modernland akhirnya dinyatakan pailit. Namun, di tingkat kasasi, putusan pailit tersebut dianulir.

 

Sejak kasus Modernland, kekhawatiran sebuah perusahaan dapat begitu mudahnya dinyatakan pailit memang mulai dirasakan. Toh, persoalan ini tidak dijadikan sebagai catatan untuk merevisi UUK. Kasus Modernland gagal jadi preseden. Perdebatan substansi UUK sebagai bahan revisi lebih didominasi dengan definisi utang, definisi kreditur-debitur, pembuktian sederhana.  Bukannya persoalan definisi utang dan lain-lain tidak penting, tapi mengembalikan hakekat kepailitan untuk menyelamatkan perusahaan sekarat, bukan mematikan perusahaan sehat juga harus jadi prioritas.

 

Namun, perlu digarisbawahi pula agar revisi UUK nantinya jangan sampai justru menyulitkan untuk memailitkan sebuah perusahaan. Kalau sampai terlalu banyak formalitas yang harus dipenuhi untuk dapat memailitkan perusahaan  dikhawatirkan UUK nantinya malah mandul.

 

Revisi proporsional

Menkeh HAM Yusril Ihza Mahendra, mengakui memang banyak kelemahan dalam Undang-undang Kepailitan (UU No.4/1998) yang berlaku sekarang. Memang banyak hal dalam konstruksi hukum janggal. Katakanlah perusahaan punya aset 250 triliun, lalu dia punya utang 5 juta. Karena tidak mau bayar bisa dipailitkan kan tidak wajar. Itu yang mau kita perbaiki, ujar Yusril menjawab pertanyaan wartawan menjelang pertemuan dengan Komisi IX DPR untuk membahas revisi UUK.

 

Namun, Yusril mengelak bila kelemahan itu semata-mata kelemahan pemerintah Indonesia. Pasalnya, amandemen UUK pada 1998 lalu, dinilai Yusril sarat dengan tekanan pihak asing. Menurut Yusril, UUK dibuat dibawah tekanan IMF dengan konsultan-konsultan asingnya. Mereka memaksakan mengubah tradisi pemailitan dari tradisi hukum Belanda ke Anglo Saxon.

 

Niatnya adalah mempermudah perusahaan-perusahaan asing memailitkan perusahaan dalam negeri. Tapi sekarang setelah undang-undang tersebut berlaku, keadaan malah berbalik. Kalau dulu Manulife sekarang Prudential (dinyatakan pailit, red). Makanya, dari dulu saya tidak mau tunduk pada kemauan pihak-pihak asing kalau membahas RUU, tukas Yusril.

 

Kendatipun demikian, Yusril mengatakan kalau pasal-pasal dalam UUK yang dibahas dengan Komisi IX ini, akan mengatur persoalan kepailitan secara proporsional. Nanti akan ditinjau apakah sebuah perusahaan yang punya aset cukup besar dapat dipailitkan karena tidak mau membayar utang kepada kreditur. Ia menjanjikan, revisi terhadap UUK sifatnya bukan parsial tapi menyeluruh.

 

Yusril juga memastikan bahwa dalam revisi ini, yang berhak memailitkan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi adalah Menteri Keuangan. Selain itu, kata Yusril, panitera pengadilan niaga juga berwenang untuk langsung menolak permohonan pailit yang diajukan terhadap bank, perusahaan asuransi, dan perusahaan efek, bukan diajukan oleh Bank Indonesia, Menteri Keuangan dan Bapepam.

 

Beberapa hal penting yang dibahas dalam revisi UUK

No.

Persoalan

Pengaturan di revisi UUK

1.

Definisi utang

Utang adalah kewajiban yang dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia atau mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari (kontinjen), yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi debitur. Bila tidak dipenuhi maka akan memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.

 

2.

Yang berhak memailitkan

- Untuk debitur bank, permohonan pailit diajukan oleh Bank Indonesia.

- Untuk debitur berupa perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Bapepam

- Untuk debitur berupa perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, atau dana pensiun, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

3.

Hakim ad hoc

Melalui keputusan presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung, dapat diangkat hakim ad hoc untuk pengadilan tingkat pertama, kasasi, dan peninjauan kembali

4.

Klausul arbitrase

Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausul arbitrase sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan UUK

5.

Gijzelling

Biaya penahanan terhadap debitur yang ditahan baik di rumah tahanan negara maupun di rumahnya sendiri, dibebankan kepada harta pailit sebagai utang harta pailit.

6.

Hakim tunggal

Dalam hal perkara lain di bidang perniagaan, selain perkara kepailitan dan PKPU, Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal

7.

Yang berhak mengajukan PKPU

-          Selain debitur, kreditur juga berhak mengajukan PKPU

-          Kreditur yang berhak mengajukan PKPU terhadap debitur, adalah kreditur yang memperkirakan debitur tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Sumber: Rancangan Undang-undang Kepailitan dan PKPU

 

Bicara soal revisi, minggu lalu Depkeh HAM dan Komisi IX sepakat untuk menggeber pembahasan revisi UUK. Ini tentunya mengejutkan, mengingat nasib revisi UUK sempat terlunta-lunta selama dua tahun, namun tiba-tiba harus dituntaskan pembahasannya dalam tempo tak sampai dua bulan. Apalagi, UUK sebenarnya tidak masuk ke dalam prioritas undang-undang yang akan dibahas DPR pada masa persidangan ini.

 

Bagi Komisi IX DPR, jelas bukan perkara mudah untuk menuntaskan pembahasan undang-undang yang dinilai oleh berbagai kalangan memiliki fungsi strategis dalam restrukturisasi perekonomian. Selain persoalan waktu dan beban kerja--komisi IX harus menuntaskan pembahasan RUU Lembaga Penjamin Simpanan--ada isu kompetensi pula yang menyelimuti pembahasan revisi UUK oleh Komisi IX.

 

Sudah bukan rahasia umum lagi kalau sebenarnya pemerintah—yang diwakili Depkeh HAM--lebih sreg untuk membahas materi undang-undang ini dengan komisi II, yang membawahi masalah hukum dan dalam negeri. Pasalnya, sebagian besar materi revisi UUK sarat dengan muatan hukum, terutama hukum acara. Sementara, komisi IX tentu lebih menguasai persoalan perekonomian secara makro.

 

Namun, komisi II tak kunjung merespon permintaan Depkeh HAM untuk bersama-sama membahas revisi ini. Akhirnya, rapat Badan Musyawarah DPR memutuskan agar revisi ini dibahas oleh pemerintah bersama dengan komisi IX.

 

Ketua komisi II DPR A. Teras Narang menolak berkomentar soal pembahasan revisi UUK yang akhirnya dilaksanakan oleh komisi IX. Kita nggak komentar, karena itu sudah dibahas ke komisi IX. Nggak usah lah, ujarnya singkat.

 

Kendatipun demikian, Teras menyatakan akan tetap mengikuti perkembangan pembahasan revisi UUK. Kekhawatiran terhadap substansi dalam revisi tersebut, kata Teras, akan ia sampaikan lewat fraksi.

 

Kekhawatiran tentang substansi revisi UUK tentu bukan dialami Teras semata. Sebuah revisi jelas diharapkan dapat memperbaiki kelemahan dan lubang-lubang yang ada dalam UU tersebut. Tapi, yang tidak kalah penting adalah perbaikan terhadap mereka yang melaksanakan UU tersebut.

Di bagian belakang kubu pemerintah, tampak sejumlah petinggi perusahaan asuransi. Sebagian dari mereka adalah ekspatriat, lengkap dengan setelan jas dan dasinya. Sementara di bagian tribun, tempat pemantauan sidang dan wartawan biasa meliput, dipenuhi oleh puluhan agen dan karyawan asuransi. Mereka bertepuk tangan dan bersorak setiap ada pernyataan dari anggota dewan yang akan mempercepat pembahasan revisi UUK ini. Ada kesan mereka berkepentingan agar amandemen ini segera mengakomodir nasib perusahaan asuransi. Agar perusahaan asuransi tidak begitu mudah dinyatakan pailit. Usai persidangan, beberapa dari mereka tampak riang berfoto di seputaran gedung DPR.

 

Sebenarnya aneh kalau sekarang berbagai pihak meributkan dan memprotes putusan pailit terhadap perusahaan asuransi. Sejak tahun 2000 sudah ada beberapa perusahaan asuransi yang diajukan dan dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga. Namun, kepailitan itu tidak sampai menimbulkan kehebohan seperti ketika PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (AJMI)—dan sekarang PT Prudential Life Assurance (Prudential)—dinyatakan pailit.

 

Mungkin persoalannya, selain AJMI dan Prudential, perusahaan asuransi yang pernah dinyatakan pailit secara teknis memang mengalami kesulitan finansial. Atau, bisa jadi di balik Prudential dan AJMI ada kepentingan pihak asing yang tak rela bila subsidiary-nya harus dinyatakan pailit. AJMI didukung oleh Manulife Financial yang berpusat di Kanada. Sementara, di belakang Prudential berdiri kokoh Prudential plc, perusahaan keuangan yang berpusat di Inggris.

Tags: