Perlu Pengaturan untuk Atasi Hambatan Industri Insurtech
Berita

Perlu Pengaturan untuk Atasi Hambatan Industri Insurtech

Peraturan OJK No. 23 Tahun 2015 membolehkan dokumen perjanjian (polisi asuransi) secara digital. Tapi, dokumen ini umumnya masih dalam bentuk cetak, menggunakan tanda tangan basah, materai, sehingga perlu pengaturan yang jelas dan lengkap.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Para pembicara dalam diskusi bertajuk “Insurtech: The Digital Future of Insurance” di Jakarta, Jumat (10/8). Foto: MJR
Para pembicara dalam diskusi bertajuk “Insurtech: The Digital Future of Insurance” di Jakarta, Jumat (10/8). Foto: MJR

Penggunaan teknologi internet dalam kegiatan bisnis turut merambah industri asuransi atau insurance technology (insurtech). Kolaborasi konsep bisnis asuransi dan perkembangan teknologi membuat industri ini memudahkan masyarakat menggunakan layanan asuransi tanpa harus bertatap muka langsung dengan perusahaan asuransi. Mulai dari pendaftaran, pembayaran premi, hingga pencairan klaim semuanya dapat dilakukan secara online.

 

Sayangnya, di tengah geliat industri tersebut, insurtech masih terkendala regulasi yang belum mengatur secara komprehensif. Alhasil, industri ini masih tertinggal dibandingkan bisnis sektor lain dalam kategori fintech lainnya seperti peer to peer lending, e-payment dan kredit online.

 

Presiden Direktur PT Asuransi Wahana Tata, Christian Wanandi mengatakan salah satu kebijakan yang dinilai masih menghambat adalah keharusan bagi perusahaan insurtech dan nasabah melengkapi dokumen (kertas) perjanjian dalam bentuk cetak.

 

Christian menjelaskan dokumen dalam bentuk cetak tersebut menghambat inovasi dari industri ini yang layanannya berbasis internet. Padahal, menurut Christian, dengan menggunakan layanan digital justru memudahkan masyarakat mengkases layanan asuransi.

 

“Kalau inovasi dipagari susah. Dengan teknologi, kami yakin bisa menjangkau masyarakat mendapat asuransi dengan mudah di kota besar dan kecil,” kata Christian saat dijumpai dalam diskusi bertajuk “Insurtech: The Digital Future of Insurance” di Jakarta, Jumat (10/8/2018).

 

Menurutnya, perusahaan insurtech selama ini masih mengenakan tanda tangan basah dan materai dalam perjanjian antara perusahaan insurtech dengan nasabahnya. Penggunaan tanda tangan basah dan materai tersebut dinilainya tidak lagi efisien bagi industri insurtech.

 

“Kami ini menyasar asuransi mikro yang preminya hanya Rp 20.000, tapi tetap harus ada biaya materai sekitar Rp 6.000,” kata Christian yang juga menjabat Wakil Ketua Bidang Hubungan Internasional Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI). Baca Juga: Butuh Pengaturan yang Tepat Awasi Industri Fintech

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait