"Serangan Umum" Fredrich Yunadi
Berita

"Serangan Umum" Fredrich Yunadi

Selain mengkritik penuntut umum, Fredrich juga menganggap majelis hakim merampas haknya.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Terdakwa kasus perintangan penyidikan kasus korupsi KTP elektronik Fredrich Yunadi (tengah) saat sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (22/6).
Terdakwa kasus perintangan penyidikan kasus korupsi KTP elektronik Fredrich Yunadi (tengah) saat sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (22/6).

Fredrich Yunadi terus menerus membantah jika dirinya secara bersama-sama dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan terhadap tersangka dalam perkara korupsi. Menurut Fredrich, dirinya tidak merasa bersalah dan tidak pantas menyandang status tersangka hingga terdakwa dalam kasus tersebut.

 

Dalam memori pembelaannya yang diklaim setebal 1.865 halaman, ia menjelaskan sejumlah alasan untuk memperkuat pledoinya. Tebalnya pembelaan Fredrich sebab ia juga memasukkan transkip keterangan saksi sebanyak 1.200 halaman yang menurutnya untuk membuka manipulasi penuntut umum.

 

Fredrich bahkan menuding Penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ingin mengubah konstitusi negara Indonesia. Penyebabnya, Penuntut umum dianggap seringkali mencoba mempengaruhi Majelis Hakim dengan berbagai putusan hakim sebelumnya atau yurisprudensi terutama berkaitan dengan Pasal 21 UU Tipikor.

 

Meskipun menurut Fredrich, keberadaan yurisprudensi bukan berarti tidak diakui. Namun penerapannya menjadi tantangan terutama apakah mengikat atau responsif terhadap pelaku tindak pidana serupa bagi terdakwa lainnya.

 

(Baca Juga: Perdebatan Warnai Sidang Tuntutan Maksimal Fredrich)

 

"Indonesia bukan menganut anglo saxon tapi selama sidang berlangsung Penuntut umum yang sangat antusias mempengaruhi Yang Mulia untuk mengambil contoh putusan yang subjek dan objeknya berbeda dan jelas," kata Fredrich di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (22/6).

 

Menurut Fredrich, penuntut umum memaksakan pertimbangan hukum di perkara lain menjadi pertimbangan dalam kasus yang dialaminya. Padahal, setiap kasus menurutnya mempunyai karakterisrik yang berbeda sehingga tidak bisa begitu saja putusan majelis dalam kasus lain digunakan dalam perkara yang didakwakan kepadanya.

 

"Penuntut umum mencoba mengubah konsitiusi Indonesia dengan menggunakan pemahaman anglo saxon padahal Indonesia menganut hukum Eropa Kontinental," pungkasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait