Pengesahan RUU Terorisme Terganjal Satu Pasal
Utama

Pengesahan RUU Terorisme Terganjal Satu Pasal

Pasal terkait dengan definisi. Pengesahan agar RUU jadi UU pun menguat.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi penanganan aksi terorisme. Foto: RES
Ilustrasi penanganan aksi terorisme. Foto: RES

Rentetan aksi terorisme mulai kerusuhan di Rumah Tahanan (Rutan) Mako Brimob Kelapa Dua Depok hingga ledakan bom di tiga gereja yang berlainan lokasi di Surabaya mengagetkan Indonesia. Kerusuhan di Mako Brimob memakan korban tewasnya sejumlah anggota Brimob dan narapidana kasus terorisme. Belum lagi rangkaian aksi bom bunuh diri di sejumlah tempat di Surabaya dan Sidoarjo yang berujung duka bagi masyarakat Indonesia.

 

Namun di sisi lain, Revisi Undang-Undang (RUU) No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tak juga kunjung rampung. Desakan agar pembahasan RUU tersebut dapat segera diselesaikan sehingga bisa disahkan menjadi UU pun menguat. Ketua DPR Bambang Soesatyo berpandangan pembahasan RUU Terorisme di tingkat Panitia Kerja (Panja) DPR dengan pemerintah sudah pada tahap penyelesaian.

 

Setidaknya sudah 99 persen pasal dalam RUU sudah diketuk. Karena itulah, RUU tersebut sejatinya sudah siap untuk disahkan menjadi UU sebelum reses masa sidang lalu. Namun sayang, lanjut Bambang, terdapat satu pasal yakni terkait dengan pendefinisian terorisme. Ia yakin, bila pendefinisian yang diatur dalam Pasal 1 sudah disepakati antara DPR dan pemerintah, maka RUU tersebut sudah dapat diselesaikan secara keseluruhan. “RUU tersebut bisa dituntaskan,” ujarnya di Jakarta, Senin (14/5).

 

Anggota Komisi II Firman Subagyo menambahkan, Panja DPR dan pemerintah mesti mempercepat pembahasan RUU. Alasannya karena UU yang baru dapat mendukung dan memberikan landasan hukum bagi aparat keamanan untuk menindak tegas pelaku tindak pidana terorisme. Menurutnya, DPR dan pemerintah mesti lebih serius menyelesaikan pasal terkait pendefinisian terorisme.

 

Mantan Wakil Ketua Badan Legislasi itu berpendapat molornya penyelesaian pembahasan RUU tersebut diakibatkan adanya ego sektoral antar lembaga di pemerintahan. Akibatnya, terjadi tarik menarik kepentingan. Kendati demikian Firman mengakui masih terdapat kekurangan dalam UU 15/2003.

 

Akibatnya, aparat penegak hukum tidak leluasa dalam bertindak represif. Begitu pula dengan belum masuknya keterlibatan TNI dalam memberantas terorisme. Sebab itulah kebijakan dalam pemberantasan dan pencegahan terorisme mesti dievaluasi melalui RUU tersebut. “Pasti harus dipercepat. Karena UU ini akan sangat mendukung dan memberikan satu landasan hukum bagi penegak hukum,” ujarnya.

 

Terpisah, Ketua Umum Ikatan Alumni Lemhanas Pusat, Agum Gumelar meminta DPR dapat segera menyelesaikan RUU tersebut. Pasalnya, dampak aksi terror yang dilakukan para pelaku cukup besar, bahkan banyak korban berjatuhan. Ini dikarenakan UU 15/2003 memiliki kelemahan sehingga penanganan tindak pidana terorisme menjadi lamban.

Tags:

Berita Terkait