Pakar: UU MD3 Langgar Putusan MK
Utama

Pakar: UU MD3 Langgar Putusan MK

Proses pembentukkan UU MD3 dinilai belum memenuhi asas keterbukaan.

ASH
Bacaan 2 Menit
Ahli yang dihadirkan pihak pemohon Refly Harun dan Ronald Rofiandi dalam sidang Pengujian UU MD3, Selasa (21/10). Foto: HumasMK
Ahli yang dihadirkan pihak pemohon Refly Harun dan Ronald Rofiandi dalam sidang Pengujian UU MD3, Selasa (21/10). Foto: HumasMK
Keberadaan UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang mengatur kewenangan DPD dinilai telah kembali mengebiri peran dan fungsi legislasi DPD. Hal ini lantaran UU MD3 itu sama sekali tidak memberikan kewenangan kepada DPD untuk merancang, membahas setiap Rancangan Undang-undang (RUU) terkait daerah.

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai UU MD3 ini telah melawan atau melanggar putusan MK No.92/PUU-X/2012 yang memberi ruang bagi DPD untuk terlibat dalam setiap proses pembahasan RUU terkait daerah. Menurut dia, DPD memiliki posisi yang setara dengan Presiden dan DPR, merujuk Pasal 22D ayat (2) UUD 1945.

“DPD memiliki kewenangan yang setara dengan DPR dan Presiden,” ujar Refly saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU MD3 yang diajukan DPD di ruang sidang MK, Selasa (21/10).

Refly menegaskan adanya Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, kewenangan membahas setiap RUU khususnya yang terkait daerah tidak mutlak hanya milik Presiden dan DPR. “Dengan demikian DPD dapat mengikuti semua tingkat pembahasan RUU yang diatur dalam undang-undang, termasuk kegiatan-kegiatan dalam tingkat pembahasan tersebut,” tegas Refly.

Menurut dia DPD merupakan salah satu lembaga negara utama dalam sistem legislasi di Indonesia yang juga berfungsi menjalankan prinsip checks and balances. Dalam putusan MK itu dinyatakan DPD memiliki kedudukan yang setara dengan MPR, DPR, Presiden dan Wakil Presiden, MA, dan BPK sesuai konstitusi.

“Karenanya lembaga negara itu dapat disebut sebagai lembaga negara utama yang memiliki hubungannya satu dengan yang lain yang terikat dengan prinsip check and balance,” ujar ahli yang sengaja dihadirkan pemohon ini.

Atas dasar itu, Refly menyarankan MK membatalkan semua ketentuan dalam UU MD3 ini.  Sebab, UU MD3 tidak dibuat dengan paradigma yang benar terkait kewenangan DPD menurut UUD 1945 dan putusan MK No. 92/PUU-X/2012 tanggal 27 Maret 2013. 

“Memerintahkan DPR, DPD, dan Presiden dalam jangka waktu tertentu membuat UU yang mengatur tentang pembentukan UU yang benar yang sesuai UUD 1945 dan putusan MK itu,” harap Refly.

“Satu setengah tahun setelah diputuskan, DPD ternyata belum dapat menikmati sepenuhnya apa yang telah diputuskan MK. Hingga kini masih terlihat keengganan DPR untuk melaksanakan putusan MK itu.”

Ahli pemohon lainnya, Peneliti PSHK Ronald Rofiandri menilai proses pembentukan UU MD3 ini belum emenuhi syarat formal karena tidak menerapkan asas keterbukaan dalam proses pembentukannya. Padahal, asas keterbukaan syarat penting yang harus diterapkan dalam setiap tahapan pembahasan undang-undang.

“Apa yang dilakukan Baleg DPR, selaku inisiator RUU Perubahan UU MD3 dan Pansus Perubahan UU MD3 hanya mewujudkan asas keterbukaan pada sebagian proses perencanaan dan penyusunan, dan uji publik,” kata Ronald.

Namun, kata Ronald, PSHK bersama koalisi UU MD3 justru mengalami kesulitan mengakses informasi yang memadai terkait jadwal, lokasi, agenda, dan dokumen yang menyertai pembahasan UU MD3 perubahan ini khususnya di tingkat panja dan timus. “Ini berbeda saat pembahasan UU No. 27 Tahun 2009 yang secara leluasa bisa diketahui segera klaster pengaturan tentang relasi legislasi antara DPD dan DPR termasuk simulasinya,” katanya.          

Sekadar mengingatkan, DPD mengajukan uji formil dan materil terhadap 21 pasal dalam  UU MD3 lantaran memperkuat posisi DPR, tetapi justru memperlemah posisi DPD.  Utamanya, UU MD3 dinilai telah memasung kewenangan DPD dalam ikut membahas RUU sebagaimana disebutkan dalam putusan MK No. 92/PUU-X/2012 itu.
Tags:

Berita Terkait