Hakim Ideal Adalah Mantan Advokat
Berita

Hakim Ideal Adalah Mantan Advokat

Itu adalah pengalaman Amerika Serikat. Di Indonesia tampaknya sulit diterapkan karena organisasi advokat masih kerap berselisih dan bermasalah.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Ada tiga kriteria yang harus dipenuhi seseorang agar bisa menjadi hakim yang ideal. Foto: SGP
Ada tiga kriteria yang harus dipenuhi seseorang agar bisa menjadi hakim yang ideal. Foto: SGP

Anda ingin berprofesi sebagai hakim? Mari simak penjelasan Ketua Muda Pidana Mahkamah Agung (MA) Artidjo Alkostar mengenai hakim yang ideal versinya. Artidjo mengutarakan setidaknya ada tiga kriteria yang harus dipenuhi agar seseorang bisa menjadi hakim yang ideal. “Tiga komponen ini cukup penting,” ujarnya dalam seminar hukum di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, pekan lalu, Sabtu (17/12).

 

Pertama, pengetahuan hukum. Ia mengutarakan pengetahuan hukum ini adalah syarat pertama yang harus dipenuhi, karenanya calon hakim harus sudah menggali pengetahuan ini sejak di bangku kuliah. “Fakultas Hukum harus membantu dengan menelurkan sarjana hukum yang memiliki pengetahuan hukum yang baik,” tuturnya.

 

Kedua, keahlian (skill) atau kapasitas yang baik. Artidjo mengatakan skill atau kapasitas ini berkaitan erat dengan jam terbang yang dimiliki oleh si calon hakim. Pengalaman di bidang hukum adalah syarat yang tak boleh dikesampingkan. “Mereka harus memiliki pengalaman bagaimana teknis menegakkan hukum,” ujarnya.

 

Lebih lanjut, Artidjo mengibaratkan seperti advokat. “Untuk menjadi lawyer, orang harus menjadi asisten lawyer terlebih dahulu. Asisten lawyer itu tak bisa langsung bela klien,” jelas mantan aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) ini. Begitu juga untuk hakim. Ia mengatakan hakim itu seharusnya orang yang sudah malang melintang di dunia hukum, misalnya mantan advokat.

 

“Di negara (yang menganut sistem,-red) common law, hakim itu direkrut dari advokat. Para advokat yang bersih dan tak pernah menipu klien ‘dipromosikan’ menjadi hakim. Bahkan, di Inggris, ada istilah part time judges, yakni advokat yang bekerja sebagai hakim secara part time (paruh waktu),” jelasnya.

 

Meski begitu, Artidjo mengaku sulit bila ini diterapkan secara ketat di Indonesia. Apalagi bila melihat kondisi organisasi advokat yang selalu berselisih dari tahun ke tahun. “Bagaimana kita mau mengharapkan advokat menjadi hakim. Di sini, organisasi advokat saja masih bermasalah. Ini yang harus dibenahi. Di Amerika Serikat itu hakim-hakim berasal dari mantan lawyer,” jelasnya.

 

Poin ketiga, masih menurut Artidjo, adalah –yang tak kalah penting- integritas atau moral yang baik. Selain menggunakan aturan hukum untuk memutus perkara, seorang hakim harus juga menggunakan hati nuraninya. Artidjo mengutarakan perbedaan ketika dia masih menjadi advokat dengan posisinya saat ini sebagai hakim saat memutus perkara.

Tags: