Perdamaian dalam Kasus Pidana Bernilai Tinggi
Rakernas MA 2011:

Perdamaian dalam Kasus Pidana Bernilai Tinggi

Menantu seharusnya menaruh hormat pada mertua. Menantu adalah penerus keturunan keluarga mertua. Kalau ada salah, menantu memohon maaf. Kasus ini bisa menjadi contoh.

Oleh:
M-10/Mys
Bacaan 2 Menit
Berbeda dengan tradisi lima tahun sebelumnya. Laporan Tahunan MA 2010 sajikan ringkasan putusan penting. Foto: SGP
Berbeda dengan tradisi lima tahun sebelumnya. Laporan Tahunan MA 2010 sajikan ringkasan putusan penting. Foto: SGP

Berbeda dengan tradisi lima tahun sebelumnya. Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2010 menyajikan ringkasan putusan-putusan penting. Putusan-putusan penting dan menarik serta layak untuk disampaikan kepada masyarakat. Untuk mengumpulkan putusan-putusan penting itu Mahkamah Agung sampai membentuk sebuah tim.

 

Hukumonline akan menyajikan dan menguraikan sebagian putusan penting tersebut ditambah beberapa putusan menarik lainnya sebagian bagian dari liputan Rakernas Mahkamah Agung Tahun 2011. Salah satunya putusan yang mempertimbangkan restorative justice. Bagaimana ceritanya?

 

Sejatinya, perkara pidana yang sudah bergulir ke pengadilan tak bisa dicabut lagi. Kalaupun korban memaafkan terdakwa, pengadilan berkewajiban meneruskan perkara itu. Pasal 75 KUHP memberi syarat pencabutan pengaduan yang dibenarkan. Kalau tak memenuhi syarat Pasal 75, pencabutan pengaduan itu tak bisa menghentikan perkara pidana.

 

Tetapi Mahkamah Agung (MA) memperbolehkan pencabutan pengaduan yang tak memenuhi syarat itu. Dalam putusan No 1600 K/Pid/2009 tersebut, MA berargumen salah satu tujuan hukum pidana adalah memulihkan keseimbangan yang terjadi karena adanya tindak pidana. Walaupun pencabutan telah lewat waktu tiga bulan sesuai syarat Pasal 75 KUHP, MA menilai pencabutan perkara bisa memulihkan ketidakseimbangan yang terganggu. MA mengatakan perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui. Bila perkara ini dihentikan, manfaatnya lebih besar daripada dilanjutkan.

 

Oh ya, Pasal 75 KUHP menegaskan pengadu masih berhak mencabut pengaduannya dalam tempo tiga bulan terhitung sejak pengaduan dimasukkan.

 

Lagipula, dalam ajaran restorative justice, kejahatan jangan hanya dilihat sebagai pelanggaran terhadap negara dan kepentingan umum. Konflik juga merepresentasikan terganggu atau terputusnya hubungan antar individu dalam masyarakat. Hakim harus mampu menyelesaikan konflik secara adil dan memuaskan para pihak.

 

Itulah pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan perkara No 1600 K/Pid/2009 ini sehingga putusan ini menjadi salah satu putusan terpilih. Perkara pidana ini terjadi di Yogyakarta. Ny. Emiwati melaporkan menantunya sendiri, Ismayawati, ke polisi dengan tuduhan penipuan atau penggelapan. Penyebabnya, menantu meminta bantuan dana untuk pengembangan usaha kepada mertua. Sang mertua bersedia memberi tambahan modal dengan perjanjian kewajiban menantu mengembalikan modal dan keuntungan. Sang menantu menyerahkan bilyet giro dan cek. Setelah mertua berusaha mencairkan bilyet giro dan cek itu, ternyata dananya kosong.

 

Mertua mengalami kerugian hingga Rp3,9 miliar. Ny. Emiwati melaporkan menantunya ke polisi. Perkara ini akhirnya dilimpahkan ke pengadilan. Di PN Yogyakarta, sang mertua berubah pikiran. Ia mencabut laporan mengingat terdakwa adalah menantunya sendiri yang masih memiliki dua anak kecil. Ny. Emiwati menegaskan sudah memaafkan perbuatan terdakwa.

 

PN Yogyakarta mengabulkan permohonan pencabutan pengaduan. Tetapi kemudian dibatalkan Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Perkara ini bergulir ke Mahkamah Agung. Majelis hakim agung dipimpin Harifin A Tumpa membatalkan putusan Pengadilan Tinggi. Pada intinya, MA membenarkan argumentasi bahwa walaupun  pencabutan pengaduan oleh korban tidak memenuhi syarat Pasal 75, pencabutan itu tetap diterima. Perdamaian kedua belah pihak bernilai tinggi. Pencabutan pengaduan dinyatakan sah.

 

Menanggapi putusan ini, Direktur LBH Mawar Saron, John IM Pattiwael mengatakan putusan MA ini bisa disebut sebagai embrio dari restorative justice. Berdasarkan pemikiran itu sudah seharusnya keharmonisan hubungan keluarga lebih dikedepankan.

 

Hakim memang sudah selayaknya mengadaptasi nilai-nilai sosial yang hidup. Tetapi, John berpendapat, meskipun restorative justice hendak dikedepankan, pelaku seharusnya tetap dikenai kewajiban membayar ganti rugi. Paling tidak, kembali ke keadaan semula.

 

Tags: