Ketika Menggugat Jadi Mata Pencaharian
Berita

Ketika Menggugat Jadi Mata Pencaharian

Kreimer beroperasi seperti sengatan lebah. Begitu ada orang lain yang melanggar haknya, maka ia akan melayangkan gugatan untuk memperoleh sejumlah uang.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Ketika Menggugat Jadi Mata Pencaharian
Hukumonline

Richard Kreimer memang seorang tuna wisma. Namun, bukan berarti pria asal New Jersey, Amerika Serikat ini tak memiliki uang. Selama bertahun-tahun, ia mengumpulkan uang dengan cara unik. Yakni, dengan melayangkan gugatan ke pengadilan. Posisinya sebagai tuna wisma dinilai ‘menguntungkan’ sebagai alasan adanya pelanggaran terhadap hak konstitusional dan hak sipil yang dimilikinya.

 

New Jersey Star-Ledger mencatat setidaknya sudah 20 gugatan yang dilayangkan pria 62 tahun ini ke pengadilan. Kasus yang paling fenomenal terjadi pada 1991, ketika Kreimer menggugat sebuah perpustakaan di Morristown di New Jersey karena melarang Kreimer masuk ke dalam perpustakan itu. Alasannya, karena Kreimer ‘kurang bersih’ dan berperilaku aneh.

 

Pengadilan akhirnya memenangkan kasus ini. Ia memperoleh uang sebesar A$80.000 sebagai kompensansi tindakan yang telah melanggar haknya ini. Di kasus lain, Kreimer memperoleh A$150.000 setelah gugatannya terhadap kekerasan yang dilakukan oleh polisi dimenangkan. Pihak yang sudah merasakan gugatannya tak sedikit, di antaranya apotek, kedai kopi, restoran Cina hingga Pemerintah Kota.  

 

Burce Rosen, yang mewakili Kreimer dalam Kasus Perpustakaan Morristown, mengakui kliennya itu bisa hidup dari ‘usaha’ gugat menggugat. “Kreimer membiayai hidupnya dari hasil gugatan-gugatan itu,” jelasnya.

 

Rosen mengibaratkan Kreimer dengan teori operasi sengatan lebah. Kreimer selalu  menunggu seseorang melanggar haknya. Nah, ketika saat itu tiba, Kreimer pasti akan segera melayangkan gugatan dengan mencantumkan sejumlah uang sebagai klaim kerugian yang dialaminya.

 

Sementara, kuasa hukum Kreimer yang lain, George Cotz membantah anggapan bahwa kliennya ini tidak waras. “Dia sangat waras dan rasional, pastinya memang eksentrik. Ia menggunakan pengadilan untuk menegakkan dan melindungi hak-haknya,” ujarnya menceritakan kliennya yang sangat melek hukum.

 

Namun, Kreimer menolak kalau dirinya hanya semata-mata mengejar materi dalam setiap gugatannya. Ia menuturkan uang tidak pernah menjadi faktor pendorong dalam setiap pengembaraan hukumnya. “Ini tentang saya yang berdiri untuk diri saya sendiri. Saya melakukannya karena itu memang benar dan harus dilakukan,” ujarnya. 

 

Terkait uang yang diperolehnya dari gugatan-gugatan itu, Kreimer menuturkan itu adalah bagian dari sistem hukum yang berlaku. “Sistem yang memungkinkan adanya kompensasi dan saya berhak untuk itu sama seperti halnya orang lain,” tegas pria yang menjadi gelandangan sejak 1980 ini.

 

Meski begitu, mendekati masa ‘pensiunnya’, Kreimer berharap suatu saat ia akan mengakhiri ‘praktik hukum’-nya ini. Namun, tentu tidak dalam waktu dekat, karena banyak pekerjaan (gugatan) yang harus diselesaikannya. “Bisnis (menggugat,-red) sedang booming,” tuturnya.

 

Kreimer memang baru saja mendaftarkan gugatan terhadap NJ Transit, perusahaan penyedia transportasi publik di New Jersey. Tak tanggung-tanggung, ia melayangkan empat gugatan terhadap perusahaan ini. Gugatan yang terbaru didaftarkan pada Juni lalu.

 

“Tidak ada orang yang berpergian menggunakan kereta melebihi saya, tapi saya tidak akan pernah mentolerir bila hak saya dilecehkan,” ujarnya, pekan lalu.

 

Kreimer merasa dirugikan oleh petugas atau polisi NJ Transit yang mengeluarkannya dari kereta dan memeriksa tas bawaannya. Mereka menggunakan undang-undang yang melarang tuna wisma untuk berkeliaran. Padahal, lanjut Kreimer, Mahkamah Agung (MA) telah menyatakan undang-undang itu tidak bisa lagi diterapkan sehingga perbuatan petugas terhadap dirinya adalah sebuah pelanggaran hak konstitusional.

 

Sumber: www.abajournal.com

Tags: