PRT Menggugat SBY
Utama

PRT Menggugat SBY

Negara yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono gagal lindungi hak pekerja rumah tangga.

Oleh:
Leo Wisnu Susapto
Bacaan 2 Menit
Presiden SBY dinilai gagal dalam pemenuhan hak asasi pada PRT<br> didalam dan diluar negeri. Foto: Sgp
Presiden SBY dinilai gagal dalam pemenuhan hak asasi pada PRT<br> didalam dan diluar negeri. Foto: Sgp

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai sebagai pihak paling bertanggungjawab atas pengabaian pemenuhan hak asasi pekerja rumah tangga di dalam maupun di luar negeri. Oleh sebab itu, sekira 10 juta pekerja rumah tangga (PRT) mengajukan gugatan (citizen law suit) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Presiden akibat membiarkan terjadinya diskriminasi pada mereka.

 

Selain Presiden, Wapres Boediono juga digugat dan menjadi tergugat satu. Kemudian, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menjadi tergugat dua. Tergugat selanjutnya adalah Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, lalu Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia M Jumhur Hidayat, dan DPR.

 

Penggugat, dalam berkas gugatan yang didapat hukumonline, menyatakan mereka adalah warga negara Indonesia berstatus pemerhati, aktivis, akademisi, pekerja rumah tangga, dan anggota keluarga pekerja rumah tangga, serta pengguna jasa pekerja rumah tangga.

 

Gugatan warga negara ini telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (30/3). “Bukan ganti rugi materiil yang kami tuju tapi perubahan kebijakan dari pemerintah,” terang salah satu kuasa hukum penggugat, Restaria Hutabarat ketika dihubungi, Jumat (1/4).

 

Oleh sebab itu, lanjut dia, masyarakat mengupayakan satu tindakan hukum agar ada putusan pengadilan. Putusan yang dimaksud adalah bahwa pemerintah dan legislatif bertanggungjawab untuk segera menuntaskan undang-undang tentang PRT.

 

Ikhwal dari gugatan ini, urai Resta, begitu wanita yang sehari-hari bekerja di LBH Jakarta ini disapa, ketika pemerintah gagal menangani 480 ribu buruh migran asal Indonesia yang diusir Pemerintah Malaysia. Mereka diusir karena Pemerintah Malaysia menilai buruh migran asal Indonesia masuk secara ilegal.

 

Seluruhnya ditampung di Nunukan, Kalimantan Timur sehingga dikenal dengan “Peristiwa Nunukan”. Mereka yang ditampung, mengalami berbagai macam penyakit seperti demam berdarah, malaria, diare, disentri, kurang gizi, muntaber, pneumonia, keguguran kandungan dan bahkan meninggal.

 

Buruknya kondisi pekerja Migran Indonesia, berupaya diperbaiki pemerintah sejak 28 Oktober 2004 dengan penerapan UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Tetapi, beleid itu justru tidak banyak memberikan perlindungan terhadap TKI karena substansinya jauh dari standar HAM Internasional. Cakupan perlindungan dalam UU 39/2004 tidak meliputi TKI yang tidak berdokumen atau yang ditempatkan tanpa melalui prosedur.

 

Penggugat mencatat, tidak seluruh pekerja migran Indonesia memenuhi syarat bekerja di luar negeri, termasuk salah satunya memiliki dokumen lengkap. Jumlahnya lebih banyak dibanding dengan Tenaga Kerja Indonesia. Dengan demikian undang-undang ini tidak menjawab permasalahan yang dialami pekerja migran Indonesia di luar negeri.

 

Kelemahan dalam UU 39/2004, menurut penggugat, menjadi biang kerok terus terulangnya pelanggaran hak dan kejahatan terhadap para pekerja migran. Seperti terlantarnya ratusan pekerja migran Indonesia di kolong jembatan Arab Saudi dan kasus penyiksaan terhadap Sumiyati dan Setyowati.

 

Tak hanya lemah, UU 39/2004 juga membuka peluang praktik perdagangan manusia (human trafficking), dan menempatkan pekerja migran Indonesia sebagai korban eksploitasi dan pelanggaran HAM. Meski demikian, negara tidak mengeluarkan kebijakan memadai dengan meratifikasi Konvensi Internasional PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Semua Anggota Keluarganya (UN Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families 1990).

 

Menakertrans Muhaimin Iskandar tidak memilih opsi konvensi kerja layak PRT. Tapi, memilih opsi rekomendasi lebih ringan daya ikat hukumnya. Lalu menjadikan perlindungan terhadap PRT dan Pekerja Migran Indonesia tidak maksimal.

 

Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah melalui siaran pers mendesak hal sama pada pemerintah dan legislatif. Dia sampaikan, RUU Perlindungan PRT masuk dalam proses legislasi 2011 dan menjadi prioritas dituntaskan tahun ini. “Semua pihak harus akui PRT sebagai pekerja dan memenuhi hak mereka,” tegasnya.

 

Seruan itu dia sampaikan karena data Jaringan Nasional Advokasi PRT tahun 2009 menyebutkan, 10-16 juta rumah tangga kelas menengah dan menengah atas mempekerjakan PRT. Sepanjang 2007-2011, terdapat 726 kasus kekerasan dan penagiayaan berat dialami PRT.

Tags: