Terbukti Tipiring, Advokat Divonis Tujuh Hari
Utama

Terbukti Tipiring, Advokat Divonis Tujuh Hari

Tak terima putusan hakim, sang advokat ajukan banding seketika. Kekebalan advokat bukan tanpa batas.

Oleh:
Rofiq Hidayat/Imam H Wibowo.
Bacaan 2 Menit
Hakim tunggal Singit Eilier hukum tujuh hari kurungan Made Rahman<br> Marasabessy penasihat hukum Abu Bakar Baasyir. Foto: Sgp
Hakim tunggal Singit Eilier hukum tujuh hari kurungan Made Rahman<br> Marasabessy penasihat hukum Abu Bakar Baasyir. Foto: Sgp

Ruang sidang utama Prof Oemar Seno Adji Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjadi saksi bisu bagi Made Rahman Marasabessy. Pekan lalu ia masih duduk di kursi penasihat hukum Abu Bakar Ba’asyir, pekan ini berubah menjadi terdakwa. Ia duduk di kursi pesakitan tindak pidana ringan (tipiring) gara-gara dituduh membuat gaduh sidang.  

 

Di ruangan itu pula Made kena ganjaran hukuman tujuh hari kurungan. Hakim tunggal Singit Elier menilai Made terbukti menimbulkan kegaduhan saat sidang perkara Ba’asyir. Perbuatannya melanggar Pasal 217 KUH Pidana. Sidang pembacaan putusan terhadap Made, Jum’at (25/3) dijaga ketat aparat Brimob.

 

Made melawan putusan itu. Menurut advokat asal Maluku itu, proses hukum terhadap dirinya merupakan resiko perjuangan. Tetapi ia tetap tidak merasa bersalah. “Ini akibat dari perjuangan. Ini kan ada akibatnya. Kalau tidak ada upaya banding saya siap masuk,” ujarnya usai menjalani sidang.

 

Perkara yang menjerat Made tak lepas dari kegaduhan sidang Ba’asyir 14 Maret lalu. Kala itu, Made memprotes keputusan majelis hakim yang mengabulkan pemeriksaan saksi-saksi melalui telekonferensi. Saat Made memberikan argumentasi, jaksa menyela. Emosi Made tersulut. Ia diduga membanting KUHAP. Sidang akhirnya ricuh. Tim advokat Ba’asyir memutuskan walk out dari ruang sidang.

 

Dalam sidang Tipiring tersebut Made menyodorkan dua rekannya, Ahmad Kholid dan Guntur Fatahillah sebagai saksi. Penyidik mengajukan empat orang anggota polisi sebagai saksi: Marulak Sitanggang, M Sukron Nugroho, Angga Sapto Setiawan, dan Iyogi Indra Purnama. Merujuk pada keterangan saksi-saksi itulah majelis hakim menyatakan Made terbukti bersalah.

 

Made memutuskan banding atas putusan itu. “Kami akan banding putusan itu,” imbuhnya. Pengacara Made, Achmad Michdan juga menyayangkan vonis hakim. Hakim Singiet Elier, kata dia, mengabaikan hak imunitas advokat sebagaimana tertuang dalam UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Kendati begitu, dia akan melakukan upaya banding terhadap rekannya. “Kami akan banding. Ini kan pidana,” katanya.

 

Hakim tunggal Singit Eilier dalam pertimbangan hukumnya secara lisan berpendapat perbuatan Made dinilai telah memenuhi unsur perbuatan sebagaimana Pasal 217 KUHP. Pembelaan Made selaku advokat dalam menjalankan tugasnya saat membela Ba’asyir dihargai hakim. Namun, tegas Singit, advokat juga harus mematuhi aturan dan etika dalam ruang sidang agar persidangan berjalan lancar.

 

Perbuatan Made yang memprotes kebijakan majelis hakim dipandang Singit sebagai perbuatan yang berlebihan. Sebab, seraya berdiri Made mengacungkan KUHAP di muka persidangan sebagai perbuatan yang melanggar etika di ruang persidangan.

 

Berdasarkan keterangan dari beberapa saksi fakta dari pihak kepolisian yang melakukan pengamanan pada saat persidangan Ba’asyir, kala itu ruang sidang dalam keadaan tenang. Namun setelah aksi protes Made, ruang sidang menjadi ricuh. Menurut hakim, seharusnya Made bersikap tenang saat menyampaikan pendapat. “Seharusnya lebih sabar, dalam artian emosi sehingga tidak terkesan seolah tidak ada orang lain,” ujarnya.


Hakim Singit berpendapat Made perlu dikenakan hukuman pidana sebagai contoh agar setiap pengunjung yang mengikuti persidangan mesti sopan dan mengedepankan psikologi kesabaran, tidak melulu mengedepankan emosi. “Menyatakan terdakwa Made Rahman Marabessy bersalah melanggar Pasal 217, menghukum dengan pidana penjara selama tujuh hari,” tegasnya.

 

Hukuman Made relatif ringan karena hakim menilai ia bersikap gentle karena mengakui perbuatannya dan meminta maaf. Ia juga belum pernah dihukum.

 

Di muka persidangan, Made memang mengakui aksi protesnya yang berujung pada kegaduhan. Namun dia menegaskan, aksinya tak dilandasi niat untuk memperkeruh persidangan. Ia semata bertindak membela kliennya.

 

Meskipun demikian, Made meminta maaf karena sidang Ba’asyir 14 Maret lalu berujung ricuh. “Saya mengucapkan permohonan maaf, tapi tidak ada niatan untuk membuat kegaduhan,” ucapnya.

 

Michdan tetap menilai ada yang salah dari sikap hakim. Hakim menghukum Made karena menyebabkan sidang gaduh, tetapi membiarkan aparat keamanan membawa senjata ke dalam ruang sidang. Padahal menurut KUHAP, tak seorang pun boleh membawa senjata ke ruang sidang.

 

Protes secara terhormat

Ketua Dewan Kehormatan Pusat Peradi, Leonard Simorangkir berpendapat advokat memang memiliki kekebalan dalam menjalankan profesi membela kliennya di persidangan. "Tapi tidak berarti kekebalan advokat tanpa batas," kata Leonard kepada hukumonline lewat telepon, Jumat (25/3).

 

Di persidangan, lanjut Leonard, advokat memang dibolehkan mengajukan protes kepada hakim, jaksa atau advokat lain dalam kasus perdata. Namun protes itu harus tetap dilakukan dengan cara-cara terhormat. "Jangan membanting, melempar, memfitnah, atau (bahkan) menyerang kehormatan hakim."

 

Leonard berharap pihak yang mengetahui atau merasa dirugikan dengan ulah advokat yang kelewat batas di persidangan untuk melaporkannya ke dewan kehormatan. "Diprioritaskan untuk dibawa ke Dewan Kehormatan terlebih dulu".

 

Leonard membandingkan dengan sidang etik di profesi hukum yang lain ketika ada pelanggaran yang dilakukan oleh oknumnya. "Di polisi, jaksa dan hakim juga begitu. Kalau ada yang diduga melakukan pelanggaran, biasanya kan ada sidang etiknya dulu," ujar Leonard.

Tags: