Akil 'Lolos' dari Tuduhan Pelanggaran Etik
Berita

Akil 'Lolos' dari Tuduhan Pelanggaran Etik

Untuk menjaga kehormatan, martabat hakim konstitusi, dan menjaga kewibawaan MK, Arsyad menyatakan mengundurkan diri secara hormat.

Oleh:
ASh/Fat
Bacaan 2 Menit
Untuk menjaga Kehormatan, Martabat Hakim Konstitusi dan <br> menjaga Kewibawaan MK M. Arsyad Sanusi mengundurkan <br> diri secara hormat. Foto: Sgp
Untuk menjaga Kehormatan, Martabat Hakim Konstitusi dan <br> menjaga Kewibawaan MK M. Arsyad Sanusi mengundurkan <br> diri secara hormat. Foto: Sgp

Tuduhan adanya dugaan pelanggaran kode etik terhadap dua hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yakni M. Akil Mochtar dan M. Arsyad Sanusi akhirnya terjawab. Majelis Kehormatan Hakim MK yang diketuai Harjono beranggotakan Achmad Sodiki, Abdul Mukhtie Fajar, Prof Bagir Manan, dan Prof Esmi Warassih Pujirahayu memutuskan tidak ada pelanggaran kode etik atas kasus Akil. 

 

“Tidak ada pelanggaran etik yang dilakukan Akil Mochtar, karenanya yang bersangkutan harus direhabilitasi sesuai harkat dan martabatnya sebagai hakim konstitusi,” ucap Harjono saat mengumumkan hasil MKH di Gedung MK Jakarta, Jum’at (11/2).

 

Menurut Harjono, keputusan itu lantaran tidak terbuktinya Jopinus Ramli Saragih benar-benar menyerahkan uang (Rp1 miliar) kepada Akil. Bahkan, keduanya tidak pernah bertemu kecuali dalam sidang. Meski demikian, MKH menemukan fakta bahwa Refly Harun dan Maheswara Prabandono mendengar dan melihat JR Saragih akan menyerahkan uang kepada Akil.

 

“Tetapi, soal itu hanya timbul antara lawyer dengan kliennya tanpa ada kaitan dengan hakim MK,” kata Harjono.                

 

Sebelumnya, dalam laporan hasil Tim Investigasi disebutkan JR Saragih saat ditagih success fee oleh Refly sebesar Rp3 miliar, minta korting Rp1 miliar dengan alasan untuk menyuap Akil terkait sengketa Pemilukada Simalungun. Namun, belakangan kedua belah pihak saling bantah. JR saragih mengaku pemotongan success fee untuk Refly dari Rp750 juta menjadi Rp600 juta. Sementara Refly mengaku meminta success fee sebesar Rp250 juta, tetapi JR Saragih meminta diskon Rp150 juta.

 

Melanggar

Sementara untuk kasus M Arsyad Sanusi, MKH memutuskan Arsyad melanggar kode etik karena peristiwa terjadinya (suap) berangkat dari adanya pertemuan Dirwan Mahmud dengan anak dan ipar Arsyad yakni Neshawati dan Zaimar serta Makhfud yang merupakan bawahan Arsyad. Karenanya, Arsyad dinilai harus bertanggung jawab secara etik atas peristiwa itu.

 

“Arsyad direkomendasikan MKH untuk diberi teguran sesuai aturan Kode Etik Hakim MK yakni melanggar prinsip integritas, kepantasan, dan kesopanan,” tutur Harjono. Meski demikian tidak ditemukan bukti keterlibatan Arsyad dalam serangkaian pertemuan yang bersifat kolutif itu karena Arsyad tidak mengetahui hubungan Dirwan dan anaknya.  

 

Memang prinsipnya ketentuan kode etik Hakim Konstitusi melarang Hakim Konstitusi meminta atau menerima, dan harus menjamin anggota keluarganya tidak meminta atau menerima hadiah dari pihak yang berperkara (Integritas No. 3). Hakim Konstitusi juga dilarang dengan sengaja mengizinkan pegawai Mahkamah untuk meminta atau menerima hadiah, hibah, pinjaman atau imbalan (Integritas No. 4).  

 

Hakim Konstitusi juga tidak akan mengizinkan tempat tinggalnya digunakan oleh anggota suatu profesi hukum lain sebagai tempat menerima klien, atau anggota lainnya dari profesi hukum tersebut (Kepantasan dan Kesopanan No. 4). Hakim Konstitusi dilarang mengizinkan anggota keluarga atau relasi sosial lainnya untuk mempengaruhinya dalam memeriksa dan memutuskan perkara (Kepantasan dan Kesopanan No. 7).

 

Selain itu, Hakim Konstitusi dilarang memanfaatkan atau memberikan wibawa Mahkamah demi kepentingan pribadi hakim tersebut atau anggota keluarganya, dan pihak lainnya (Kepantasan dan Kesopanan No. 8).  

 

Harjono mengungkapkan telah terjadi sekali pertemuan antara Dirwan Mahmud dengan Neshawati dan Zaimar di rumah dinas Arsyad. Disusul pertemuan Panitera Pengganti MK Makhfud dengan Dirwan dan serangkaian pertemuan lanjutan yang bersifat kolutif. Meski hanya dua kali bertemu, Neshawati terbukti aktif memperkenalkan Dirwan kepada Makhfud, sementara Zaimar lebih aktif lagi.   

 

“Rangkaian pertemuan itu membicarakan kemungkinan pemenangan perkara yang diajukan Dirwan ke MK termasuk adanya pemberian uang yang diakui Makhfud dan Dirwan,” ungkapnya.

 

Di luar itu, Harjono tetap mendorong KPK untuk menuntaskan dugaan suap sesuai temuan Tim Investigasi MK. “Dugaan korupsi yang telah ditemukan Tim Investigasi MK harus tetap dilanjutkan. MK percaya sepenuhnya kepada KPK dan aparat hukum lainnya akan mampu mengungkap kasus itu,” imbuhnya.

 

Di tempat yang sama, Arsyad secara tegas menyatakan mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keluhuran, kehormatan, dan martabat jabatan hakim konstitusi serta menjaga kewibawaan MK.

 

“Sebagai bentuk tanggung jawab moral atas jabatan mulia hakim konstitusi, saya menyatakan mengundurkan diri dengan hormat atau memohon pensiun dini dari jabatan hakim konstitusi,” kata Arsyad.  

 

Meski demikian, ia menghargai keputusan MKH itu. Tak berselang lama, Arsyad yang terlihat matanya berkaca-kaca, melepas pelana lambang jabatan hakim konstitusi yang ada di jasnya, lalu diserahkan kepada Ketua MK Moh. Mahfud MD.

 

Untuk kasus ini, Makhfud disebut-sebut telah menerima sejumlah uang sebesar Rp58 juta dan sertifikat tanah dari Dirwan Mahmud yang juga melibatkan Nesyawati dan Zaimar. Belakangan, Nesyawati mengaku hanya membantu Dirwan – yang dikenalkan oleh Zaimar- yang merasa dizalimi oleh para pengacaranya lantaran keterpilihan sebagai Bupati Bengkulu Selatan dibatalkan.

 

Lalu, Nesyawati memperkenalkan Dirwan dengan Makhfud terkait pengujian UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Namun, penerimaan uang itu dibantah kuasa hukum Makhfud, Andi M Asrun yang mengaku kliennya hanya menerima uang Rp35 juta dan sudah dikembalikan ke Dirwan lantaran pengujian undang-undang itu ditolak.

 

Terpisah, Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan hingga kini dugaan pemerasan dan percobaan penyuapan di tubuh MK masih terus didalami dengan mengumpulkan bukti-bukti. “Sampai saat ini kita masih terus mengumpulkan bukti dan memeriksa sejumlah pihak, tetapi KPK belum bisa memastikan adanya unsur pidana korupsi,” ujar Johan di Gedung KPK.

 

Soal keputusan MKH, Johan mengatakan hal itu merupakan urusan internal MK terkait pelanggaran kode etik. “Tak ada hubungannnya dengan KPK, kita hanya mendalami hukum pidananya (korupsi/suap),” imbuhnya.

 

Tags: