Kemenbudpar Tuntut ‘New7Wonders’ di Swiss
Berita

Kemenbudpar Tuntut ‘New7Wonders’ di Swiss

Akibat Kemenbudpar sebagai 'official supporting committee' dianggap NOWC tidak berkomitmen menjadi tuan rumah acara pengumuman pemenang N7W.

Oleh:
MVT
Bacaan 2 Menit
Todung Mulya Lubis, kuasa hukum Kemenbudpar<br> tuntut penyelenggara New7Wonders di Swiss.<br> Foto: Sgp
Todung Mulya Lubis, kuasa hukum Kemenbudpar<br> tuntut penyelenggara New7Wonders di Swiss.<br> Foto: Sgp

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) menyiapkan langkah hukum untuk menuntut New Open World Corporation (NOWC), penyelenggara kontes New7Wonders of Nature (N7W) atau populer dikenal Tujuh Keajaiban Dunia. Tuntutan ini akan diajukan ke pengadilan Swiss dalam waktu dekat.

 

Demikian Todung Mulya Lubis, kuasa hukum Kemenbudpar dalam konferensi pers di kantornya, Rabu (9/2). NOWC merupakan perusahaan Panama yang berkantor di Zurich, Swiss.

 

Todung menguraikan alasan untuk menempuh jalur hukum, karena Kemenbudpar dilarang NOWC melakukan promosi terkait status Pulau Komodo sebagai finalis N7W. Padahal, telah ada penandatanganan Standard Participation Agreement antara NOWC dengan Pemerintah Indonesia yang diwakili Kemenbudpar.

 

“Disepakati, Pulau Komodo ikut serta dalam pemilihan dan kementerian berhak melakukan segala promosi di Indonesia. Kemenbudpar juga sudah bayar participation fee sebesar AS$199,” jelasnya.

 

Persoalannya, kata Todung, NOWC mendepak Kemenbudpar sebagai official supporting committee karena dianggap tidak berkomitmen menjadi tuan rumah acara pengumuman pemenang N7W. Kemenbudpar memang sempat menjajaki kemungkinan untuk menjadi Official Host, namun belum pernah secara resmi mengajukan proposal. Sebabnya, Kemenbudpar merasa biaya sebagai tuan rumah cukup tinggi dan tidak pernah muncul dalam pembicaraan awal dengan NOWC.

 

License fee yang harus dibayarkan untuk menjadi tuan rumah sebesar AS$10 juta plus biaya lainnya sekitar AS$35 juta. Dalam perkembangannya, ujar Todung, proses penawaran penyelenggaraan acara ini belum pernah dilakukan sama sekali. “Kemenbudpar tidak pernah menandatangani kontrak sebagai penyelenggara. Jadi, bagaimana bisa dibilang tidak berkomitmen,” sergahnya.

 

Apalagi, Todung melanjutkan, Kemenbudpar juga tidak melakukan tindakan-tindakan yang melanggar perjanjian promosi. Ia menegaskan harus dibedakan antara pencalonan Pulau Komodo sebagai finalis dan keinginan Indonesia menjadi tuan rumah.

 

“NOWC tidak pernah mengirimkan notice of default sebagai peringatan jika kita melakukan pelanggaran perjanjian. Tidak masuk akal bahwa NOWC menganggap Kementerian tidak berhak melakukan promosi. Tidak ada logika hukumnya,” tandasnya.

 

Karena itu, Kemenbudpar sedang mengkaji langkah-langkah hukum untuk mengembalikan statusnya sesuai perjanjian. “Kami sedang mempertimbangkan semua upaya hukum yang dapat dilakukan sebab perlakuan NOWC ini tidak adil dan mempengaruhi reputasi bangsa Indonesia. Salah satu yang mungkin dilakukan adalah menuntut NOWC secara perdata ke pengadilan di Swiss,” pungkasnya.

 

Menurut Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana, tuntutan semacam ini dimungkinkan secara hukum internasional. “Prinsipnya bisa saja, tapi pemerintah harus membayar pengacara Swiss untuk menjadi pengacara," urai Hikmahanto.

 

Sebab, lanjutnya, pengacara hanya punya izin di negara masing-masing. "Pengacara di Indonesia dapat berperan menerjemahkan tuntutan Kemenbudpar dalam bahasa hukum ke pengacara Swiss,” ujarnya via telepon pada hukumonline.

 

Meski demikian, Hikmahanto menyayangkan keikutsertaan Indonesia dalam program ini. Sebab, NWOC sebagai penyelenggara merupakan swasta murni yang tidak ada kaitannya dengan UNESCO, badan PBB bidang budaya. “Kalaupun Pulau Komodo menang, terus apa. Pengakuan juga bukan datang dari PBB,” sergahnya.

 

Untuk alasan promosi pariwisata pun, Hikmahanto menganggap berlebihan. Pemerintah dinilainya bisa melakukan promosi sendiri tanpa perlu ikut ajang yang ‘tidak jelas’ ini. “Pulau Komodo milik Indonesia. Kenapa harus muncul masalah seperti ini,” tandasnya.

 

Meski demikian, Hikmahanto menyarankan agar NWOC benar-benar ditelusuri. “Perlu dicek juga kebenaran NWOC ini. Apakah benar perusahaan atau hanya organisasi tidak jelas. Jangan-jangan tujuannya cuma menipu dan mengeruk keuntungan,” tegasnya.

 

Apalagi, sambungnya, besarnya biaya yang diminta NWOC untuk menyelenggarakan acara penganugerahan. Menurutnya, biaya tersebut sangat tidak masuk akal.

 

Jika ternyata bermasalah, Kemenbudpar bisa melaporkan NWOC pada Kepolisian Swiss. “Atas nama pemerintah Indonesia, melaporkan masalah ini ke polisi negara itu. Mungkin bisa masalah pemerasan, penipuan, atau lainnya,” pungkas dia.

 

Tags: