Bahasa Hukum: Seponering atau Deponering?
Berita

Bahasa Hukum: Seponering atau Deponering?

Kamus bahasa Belanda – Indonesia mengenal kata ‘deponeren’ dan ‘seponeren’.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Gedung Kejagung. Foto: SGP.
Gedung Kejagung. Foto: SGP.
Penggunaan istilah acapkali menimbulkan perdebatan. Apalagi bagi kalangan akademisi dan praktisi hukum. Sebab, suatu istilah hukum punya makna tertentu dan kadang membawa akibat hukum tertentu. Tidak mengherankan jika orang salah mengartikan putusan hakim yang membebaskan terdakwa dengan menyatakan terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum.

Perbedaan pandangan acapkali muncul ketika hendak menafsirkan istilah asing. Itulah yang terjadi ketika belakangan hukumonline menggunakan istilah seponering. Seorang pengacara senior malah menuduh hukumonline salah karena hukum Indonesia tak mengenal istilah seponering. Yang benar, kata si pengacara, adalah deponering. Buktinya, para petinggi Kejaksaan pun menggunakan istilah deponering untuk menyebut ‘pengesampingan perkara demi kepentingan umum’.

Frase yang menjadi kewenangan Jaksa Agung ini sebenarnya merujuk pada penjelasan pasal 77 KUHAP. Penjelasan pasal ini merumuskan: “yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”.

Kembali ke soal istilah, perdebatan yang muncul berkisar pada deponering atau seponering. Guru Besar Hukum Acara Pidana, yang juga Ketua Tim Penyusun RUU KUHAP, Prof. Andi Hamzah berpendapat istilah yang benar adalah seponering. Istilah ini berasal dari kata kerja seponeren, dengan kata dasar sepot. Pandangan Andi Hamzah itu juga dia sampaikan secara terbuka di depan peserta Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2010 yang dilaksanakan Komisi Hukum Nasional. Dua pakar hukum pidana, Prof. Mardjono Reksodiputro dan Prof. J.E. Sahetapy berada di acara tersebut ketika Prof. Andi Hamzah menyampaikan pandangannya.

Kepada hukumonline, Andi Hamzah bercerita ia baru menyadari kekeliruan penggunaan istilah deponering itu ketika hendak mengedit buku tulisan kakaknya, Andi Zainal Abidin (pakar hukum pidana Unversitas Hasanuddin), pada tahun 1950-an. Kala itu, dalam naskah buku Zainal Abidin selalu tertulis seponering. Andi Hamzah menduga terjadi kesalahan ketik secara beruntun. Karena itu, ia kembali ke Makassar untuk memastikan apakah ada kesalahan ketik. Ternyata, tidak. Zainal Abidin menunjukkan referensi rujukan berbahasa Belanda yang menggunakan istilah seponering atau seponeren.

Ketika melakukan studi banding ke Belanda untuk kebutuhan penyusunan RUU KUHAP, Andi Hamzah membuktikan istilah yang dipakai adalah seponering, seponeren, atau sepot.  “Hukum acara di Belanda menggunakan istilah seponering,” ujarnya.

Salah satu buku klasik yang menyebut istilah seponeren adalah Het Recht in Indonesie karya W.L.G. Lemaire (NV Uitgeverij W van Hoeve – ‘s Gravenhage Bandung, 1952, hal. 273). Istilah itu dipakai ketika Lemaire membahas bab tentang straftprocesrecht.

Andi Hamzah tidak tahu kapan persisnya istilah deponering lebih sering dipakai. Yang jelas, buku-buku referensi yang terbit belakangan sudah menggunakan istilah tersebut. “Hukum Atjara Pidana di Indonesia” karya Mr. Wirjono Prodjodikoro (juga diterbitkan Van Hoeve – ‘s Gravenhage Bandung, tanpa tahun) sudah menggunakan istilah deponeer sebagai sebutan untuk mengesampingkan perkara. Jika Jaksa Agung tidak menuntut seseorang ke pengadilan dengan mengesampingkan perkaranya demi kepentingan umum, kondisi demikian disebut deponeer (hal. 18). Buku hukum acara pidana tulisan mantan hakim agung M. Yahya Harahap, yang terbit belakangan juga sudah menggunakan istilah deponering.

Kamus
Diakui Andi Hamzah, kini para praktisi lebih sering menggunakan istilah deponering. Kamus bahasa Belanda pun sudah memuat kata itu, dengan tafsir yang relatif sama dengan seponering.

Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda - Indonesia (Binacipta, 1983), memuat kedua istilah tersebut. Deponeren mengandung arti (1) mendaftarkan, khususnya pengiriman suatu merek kepada biro milik perindustrian (atau lembaga sejenis di negara bersangkutan) untuk jaminan hak pemakaian merek tersebut. Pada merek itu biasanya dicantumkan kata gedeponeerd (terdaftar). Istilah yang sama sering dicantumkan pada pencatatan tanda bukti pemilikan saham; (2) menyisihkan, meniadakan, mengesampingkan tuntutan perkara pidana oleh penuntut umum; dan (iii) memberikan keterangan saksi, khususnya dalam suatu perkara.

Sementara, seponeren digunakan dalam perkara pidana dalam arti menyampingkan, tidak diadakan penuntutan (oleh penuntut umum berdasarkan asas oportunitas, atau karena bukti yang ada tidak cukup lengkap untuk mengadakan tuntutan hukum). Asal kata sepot berarti penyampingan, penyisihan.

Demikian pula Kamus Umum Belanda-Indonesia tulisan S. Wojowasito. Berdasarkan kamus ini, deponeren berarti  (i) menyimpan; (ii) menaruh untuk diperiksa; dan (iii) menitipkan. Sementara seponeren mengandung arti menyisihkan, atau menyisikan

Lebih spesifik,Kamus Hukum Belanda – Indonesia karangan Marjanne Termorshuizen (1999) mengartikan seponeren berkaitan dengan zie ook; sepot, straft yang berarti mengesampingkan, mendeponir, memetieskan. Sementara deponeren mengandung makna (1) mendaftarkan, menitipkan, menyimpankan (2) mengesampingkan perkara, memetieskan, mendeponir.

Jika kamus bahasa Belanda – Indonesia sudah memuat kedua kata itu untuk arti yang hampir sama, maka perdebatannya bukan lagi mana istilah yang benar atau salah. Yang lebih menarik ditelusuri, sejak kapan istilah deponering dipakai untuk menggantikan seponering, dan apa yang melatarbelakangi perubahan penggunaan istilah itu.

Hukumonline juga tidak berpretensi bahwa istilah seponering lebih benar dibanding deponering. Sebab, kedua istilah itu selama ini pernah dipakai dalam pemberitaan.
Tags: