Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi Melalui Kerjasama Internasional
Oleh: Paku Utama *)

Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi Melalui Kerjasama Internasional

Tindak pidana korupsi adalah tindakan merampas aset yang merupakan hak negara sehingga negara kehilangan kemampuan untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab untuk mensejahterakan rakyatnya.

Bacaan 2 Menit
Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi Melalui Kerjasama Internasional
Hukumonline

 

Aset hasil tindak pidana korupsi yang diambil oleh para koruptor banyak yang dilarikan serta disembunyikan di luar negeri. Hasil korupsi disembunyikan di rekening bank di luar negeri melalui mekanisme pencucian uang sehingga upaya dalam melacak serta mengembalikan aset tersebut menjadi sulit. Tidak jarang teknik pencucian uang ini disempurnakan oleh akuntan, pengacara, dan bankir yang disewa oleh koruptor.

 

Dalam melakukan proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi ini, negara-negara di dunia saling melakukan kerja sama internasional dalam rangka mempermudah proses pengembalian aset ini. Tetapi dalam pelaksanaanya terdapat kendala-kendala yang disebabkan antara lain: sistem hukum yang berbeda, sistem perbankan dan finansial yang ketat dari negara di mana aset berada, praktek dalam menjalankan hukum, dan perlawanan dari pihak yang hendak diambil asetnya oleh pemerintah.

 

Indonesia

Indonesia sudah melakukan upaya pemberantasan korupsi sejak lama dan dalam sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi,[5] terdapat beberapa ketentuan pengembalian dan mekanisme pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Namun, berbagai peraturan perundang-undangan yang di dalamnya mengatur tentang pengembalian aset masih memiliki kelemahan-kelemahan.

 

Pertama, fokus utama ketentuan tentang pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi masih terbatas pada pengembalian aset di dalam negeri dan tidak ada ketentuan yang mengatur makanisme pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri. Kedua, di dalam peraturan perundang-undangan tersebut belum diatur landasan hukum serta wewenang untuk melaksanakan kerja sama internasional dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Ketiga, peraturan perundang-undangan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan tindak pidana korupsi saat ini, dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi, khususnya ketentuan tentang pengembalian aset di dalam UNCAC.

 

UNCAC merupakan terobosan baru dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya dalam hal pengembalian aset di berbagai negara terutama Indonesia. Namun sebagai suatu peraturan yang (relatif) baru dan Indonesia sebagai salah satu negara yang sudah meratifikasi konvensi ini, terdapat permasalahan-permasalahan yang pada akhirnya menyebabkan Indonesia tidak dapat memaksimalkan usaha pengembalian aset.

 

Salah satu tujuan utama UNCAC adalah memperkuat langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan lebih efisien dan efektif, sehingga memerlukan kerjasama antar negara yang lebih erat karena dalam kenyataannya hasil korupsi dari negara ketiga sering ditempatkan dan diinvestasikan di negara lain berdasarkan kerahasiaan bank yang bersifat konvensional.

 

Definisi dan Mekanisme Pengembalian Aset

Dalam UNCAC tidak dijelaskan pengertian pengembalian[6] aset.[7] Menurut Matthew H. Fleming,[8] dalam dunia internasional tidak ada definisi pengembalian aset yang disepakati bersama. Fleming sendiri tidak mengemukakan rumusan definisi, tetapi menjelaskan bahwa pengembalian aset adalah proses pelaku-pelaku kejahatan yang dicabut, dirampas, dan dihilangkan haknya dari hasil tindak pidana.

 

Pendapat Fleming dalam bukunya Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior, An Economic Taxonomy: Draft for Comments[9], melihat pengembalian aset sebagai: pertama, pengembalian aset sebagai proses pencabutan, perampasan, penghilangan; kedua, yang dicabut, dirampas, dihilangkan adalah hasil atau keuntungan dari tindak pidana; ketiga, salah satu tujuan pencabutan, perampasan, penghilangan adalah agar pelaku tindak pidana tidak dapat menggunakan hasil serta keuntungan-keuntungan dari tindak pidana sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya.

 

Sebagaimana dijelaskan di atas, pengembalian aset tidak mempunyai definisi yang baku. Penulis menilai pengembalian aset tidak hanya merupakan proses saja, tetapi juga merupakan upaya penegakan hukum melalui serangkaian maknisme hukum tertentu. Untuk memberikan penjelasan yang komprehensif, berdasarkan pandangan-pandangan dari sarjana-sarjana sebelumnya, penulis merumuskan pengertian pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai berikut:

Pengembalian aset adalah sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara korban (victim state) tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas, menghilangkan hak atas aset hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi melalui rangkaian proses dan mekanisme. Baik secara pidana maupun perdata, aset yang berada di dalam maupun disimpan di luar negeri, yang dilacak, dibekukan, dirampas, disita, dan dikembalikan kepada negara korban hasil tindak pidana korupsi, sehingga dapat mengembalikan kerugian keuangan akibat tindak pidana korupsi. Juga termasuk untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan/ atau calon pelaku tindak pidana korupsi.

Terdapat pula mekanisme dalam melakukan proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, yaitu: pertama dengan melakukan pelacakan, selanjutnya aset yang sudah dilacak dan diketahui kemudian dibekukan, terakhir, aset yang dibekukan lalu disita dan dirampas oleh badan berwenang dari negara di mana aset tersebut berada, dan kemudian dikembalikan kepada negara tempat aset tersebut diambil melalui mekanisme-mekanisme tertentu.

 

Kesepakatan tentang pengembalian aset tercapai karena kebutuhan untuk mendapatkan kembali aset-aset hasil tindak pidana korupsi sebagaimana harus direkonsiliasikan dengan hukum dan prosedur dari negara-negara yang dimintai bantuan. Pentingnya pengembalian aset, terutama bagi negara-negara berkembang didasarkan pada kenyataan bahwa tindak pidana korupsi telah merampas kekayaan negara-negara tersebut, sementara sumber daya sangat dibutuhkan untuk merekonstruksi dan merehabilitasi masyarakat melalui pembangunan berkelanjutan.[10]

 

Mengenai proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, para pelaku tindak pidana korupsi mampu melintasi dengan bebas batas yurisdiksi dan geografis antar negara. Sementara, para penegak hukum tidak mudah menembus batas-batas yurisdiksi dan melakukan penegakkan hukum di dalam yurisdiksi negara-negara lain. Untuk itu diperlukan kerjasama yang mengglobal dalam melakukan pengejaran serta pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.

 

Dengan diaturnya ketentuan mengenai bantuan hukum timbal balik di dalam UNCAC, maka upaya pengembalian aset dapat terlaksana dengan maksimal. Cara paling mudah dalam melakukan proses pengembalian aset yang berada di luar yurisdiksi negara korban adalah melalui bantuan hukum timbal balik. Ketika aset-aset hasil tindak pidana korupsi ditempatkan di luar negeri, negara korban yang diwakili oleh penyelidik, penyidik, atau lembaga otoritas dapat meminta kerjasama dengan negara penerima untuk melakukan proses pengembalian aset. hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 46 UNCAC, di mana negara-negara penerima aset harus memberikan bantuan kepada negara korban dalam rangka proses pengembalian aset.

 

Lebih jauh dikritisi bahwa bantuan timbal balik merupakan hakikat dari kerja sama internasional dalam pengembalian aset. UNCAC memberikan jalan keluar yang sangat mudah kepada negara-negara korban dalam melakukan proses pengembalian aset. UNCAC mewajibkan setiap negara peserta untuk memberikan bantuan (timbal balik) kepada para negara korban yang membutuhkan.[11] Bahkan penulis melihat bahwa bantuan timbal balik ini memberikan terobosan bagi para negara korban untuk menembus batasan-batasan konvensional yang selama ini menjadi penghambat dalam proses pengembalian aset.

 

Dalam hal negara-negara dengan sistem perbankan yang sangat tertutup[12], oleh karena itu UNCAC memberikan kemudahan negara-negara korban untuk dapat menelusuri atau mengakses sistem perbankan suatu negara untuk memperoleh informasi atas aset hasil tindak pidana korupsi. Hal ini diatur dengan jelas dalam Pasal 46 ayat (8).[13]

 

Penerapan dan Faktor Penghambat di Indonesia

Selama empat tahun lebih Indonesia telah meratifikasi UNCAC (2003), Indonesia sudah melakukan banyak perubahan serta kemajuan dalam upayanya memberantas korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang lahir secara tidak langsung berdasarkan UNCAC ini menandakan bahwa terdapat perubahan atas kemauan yang konkrit dalam memberantas korupsi. Dalam pelaksanaannya, Indonesia sudah melaksanakan ketentuan-ketentuan UNCAC secara umum sebagai proses pengembalian aset yang dilakukan Indonesia, seperti melakukan kerja sama bilateral, melakukan bantuan hukum timbal balik (mutual legal assistance), melakukan upaya penelusuran aset melalui perbankan dari negara lain, dan lain sebagainya.

 

Pada kenyataannya aset hasil tindak pidana korupsi yang dilarikan ke luar negeri dan aset yang berhasil dikembalikan ke Indonesia perbedaannya sangat besar. Perbandingan aset yang masih di luar negeri masih lebih banyak dibandingkan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang sudah berhasil di bawa kembali ke dalam negeri. Bahkan dapat dikatakan belum satupun aset korupsi yang dikembalikan. Hal ini tidak terjadi begitu saja, terdapat permasalahan-permasalahan yang pada prakteknya seringkali muncul dan menjadi faktor utama yang menghambat proses pengembalian aset.

 

Faktor-faktor penghambat atau permasalahan tersebut antara lain:

1.      Pengaturan Hukum Nasional yang tidak Menunjang Keberlakuan UNCAC di Indonesia

Semenjak UNCAC di adopsi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi 58/ 4 tanggal 31 Oktober 2003, Indonesia telah meratifikasinya melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC pada tanggal 18 April 2006.[14]

 

Hingga saat ini, pemerintah belum membentuk suatu peraturan pelaksana terhadap keberlakuan UNCAC di Indonesia. UNCAC menyediakan sarana kepada para negara korban untuk dapat melakukan kerja sama internasional dalam upaya pengembalian aset, tetapi setiap negara peserta harus mempunyai suatu peraturan nasional yang dapat memberlakukan UNCAC tersebut.

Permasalahannya di sini adalah ratifikasi Indonesia terhadap UNCAC tidak menjadikan penerapan proses pengembalian aset menjadi terlaksana secara maksimal. Karena Indonesia belum memiliki pengaturan khusus mengenai proses pengembalian aset yang didasarkan atas kerja sama internasional.

2. Tidak Adanya Kemauan Politik Pemerintah yang Kuat terhadap Upaya Pemberantasan Korupsi.

Proses pengembalian aset sebagai salah satu upaya pemberantasan korupsi memerlukan dukungan kuat dari pemerintah negaranya. Kemauan politik pemerintah merupakan faktor utama yang menentukan dalam berhasil tidaknya suatu upaya pemberantasan korupsi di suatu negara, khususnya terhadap proses pengembalian aset.

Hal ini terlihat dalam proses hukum kasus mantan Presiden Soeharto, di mana hingga saat Soeharto meninggal pun belum ada satu aset pun (hasil tindak pidana korupsi) yang berhasil dikembalikan.

 

Kesimpulan dan Rekomendasi

Dengan berlandaskan uraian di atas, terdapat beberapa kesimpulan yang diberikan sebagai berikut.

  • Mekanisme pengembalian aset yang diatur dalam peraturan perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi dan KUHAP terlalu sederhana dan masih bersifat konvensional sehingga tidak memungkinkan pengembalian aset secara efektif dan efisien. Indonesia perlu menyesuaikan peraturan perundang-undangannya dengan prinsip-prinsip dan standar-standar yang berlaku secara universal sebagaimana tercantum dalam UNCAC 2003.
  • Semenjak Indonesia meratifikasi UNCAC, proses pemberantasan korupsi terhadap pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi tidak menghasilkan peningkatan yang signifikan. Sedangkan Indonesia sudah mempunyai semua perlengkapan serta fasilitas dalam melakukan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Ini disebabakan kemauan politik (political will) pemerintah yang tidak kuat dalam membrantas korupsi yang dilakukan oleh para pejabat Indonesia, khususnya Mantan Presiden Soeharto.

 

Sebagai rekomendasi, Indonesia perlu menyusun undang-undang serta peraturan pelaksana yang mengatur mekanisme pengembalian aset termasuk mekanisme mengenai kerja sama internasional dalam pencegahan tindak pidana korupsi dari dalam atau yang ke luar negeri.

 

Dalam hubungan internasional, Indonesia harus aktif menyuarakan aksinya mengenai pemberantasan korupsi di negaranya di dalam forum-forum internasional seperti Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), sehingga masyarakat internasional sadar dan yakin bahwa Indonesia mempunyai tekad kuat dalam pemberantasan korupsi, yang pada akhirnya akan mempermudah kerja sama internasional dengan negara-negara lain dalam proses pengembalian aset.

 

-------

*)  Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia jurusan Hukum Hubungan Transnasional. Juara Kedua Mahasiswa Berprestasi Utama Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2008. Sekarang sedang melakukan riset di PJKAKI KPK serta Jaringan Kerjasama Internasional ATR (Asset Tracing Recovery) KPK. Hingga saat ini aktif dalam dikusi, kampanye, serta proses pemberantasan korupsi (http://dunia-korupsi.blogspot.com). Penulis dapat dihubungi di [email protected].



[1] Michael Levi, Tracing and Recovering the Proceeds of Crime, Cardiff University, Wales, UK, Tbilisi, Georgia, 2004, hlm. 17.

[2] Korupsi adalah merupakan Transnational Crime terhitung sejak tanggal 1 Oktober 2003 dimana 107 negara peserta Konferensi Ad Hoc Committee for the Negotiation of the United Nations Conventions against Corruption, termasuk Indonesia telah menyetujui mengadopsi Convention Against Corruption yang telah diselenggarakan di Wina. Lebih lanjut baca Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi: Aspek Nasional dan Aspek Internasional (Bandung: Mandar Maju, 2004), hlm. V.

[3] UNCAC diadopsi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi 58/ 4 tanggal 31 Oktober 2003; UNCAC telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Anti Korupsi, 2003) pada tanggal 18 April 2006. Untuk penyebutan Konvensi ini, Penulis menggunakan UNCAC.

[4] Dimitri Vlassis, The United Nations Convention Against Corruption, Overview of Its Contents and Future Action, Resource Material Series No. 66, hlm. 118.

 

[5] Kitab Undang-undang Hukum Pidana; Peraturan Penguasa Militer Nomor (No.) Pert/PM/06/1957; Peraturan Penguasa Perang Pusat No. PRT/PERPU/013/158; Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 24 Tahun 1960 yang kemudian disahkan menjadi UU No. 1 Tahun 1961; UU No. 3 Tahun 1971 sebagaimana diubah dengan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Tap MPR No: XI/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; Tap MPR No: VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupi, Kolusi dan Nepotisme. Implikasi dari Tap MPR No: VII/MPR/2001 adalah diundangkannya UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 dan berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 yang memerintahkan pembentukan lembaga independen pemberantasan tindak pidana korupsi, kemudian diundangkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003; Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang diikuti dengan penyusunan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi sebagaimana diperintahkan oleh Inpres No. 5 Tahun 2004. Lebih lanjut baca Purwaning Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia (Bandung: Alumni, 2007), hlm. 14.

[6] Dalam Blacks' Law Dictionary, 8th ed, diberikan penjelasan bahwa kata recovery sebagai istilah hukum, yang diartikan sebagai: 1. The regaining or restoration of something lost or restoration of something lost or taken away. 2. The obtained of a right to something by a judgement or decree. 3. An amount awarded in or collected from a judgement or decree.

[7] Ibid., Aset berarti: 1. An item that is owned and has value. 2. The entries of property owned, including cash, inventory, real estate, accounts receivable, and goodwill. 3. All the property of a person available for paying debts.

[8] Matthew H. Fleming, Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior, An Economic Taxonomy: Draft for Comments, Version Date (London: University College, 2005), hal. 27.

 

[9] Ibid., hal. 31.

[10] Lihat alinea pertama Mukadimah UNCAC.

 

[11] UNCAC, articel 46 paragraph (1), menyatakan:

States Parties shall afford one another the widest measure (huruf tebal dari penulis) of mutual legal assistance in investigations, prosecutions and judicial proceedings in relation to the offences covered by this Convention.

[12] Banyak negara-negara yang melindungi keberadaan perbankan negaranya dengan suatu proteksi kerahasiaan yang sangat tinggi. Biasanya hal ini dilakukan apabila suatu negara hanya mempunyai sistem perbankan sebagai satu-satunya atau sebagai pemasukan terbesar negaranya.

[13] UNCAC, article 46 paragraph (8), menyatakan:

States Parties shall not decline to render mutual legal assistance pursuant to this article on the ground of bank secrecy. Hal ini menegaskan bahwa aturan kerahasiaan bank bukan merupakan hal yang tertutup secara mutlak lagi. Melalui prosedur dan hukum nasional suatu negara dengan menyesuaikan keberadaan UNCAC, maka negara korban dapat mengakses informasi perbankan suatu negara dalam melakukan proses pengembalian aset.

[14] Yanuar, op.cit., hal. 10.

Sebagai akibat tindak pidana korupsi yang terus berlangsung, rakyat kehilangan hak-hak dasar untuk hidup sejahtera.[1] Dewasa ini permasalahan korupsi sudah bukan merupakan permasalahan (nasional) suatu bangsa saja, tetapi sudah menjadi permasalahan internasional.[2] Korupsi sudah memasuki lintas batas negara. Hal ini dinyatakan dalam alinea ke empat Mukadimah United Nations Convention Against Corruption 2003  (UNCAC)[3]:

 

Convinced that corruption is no longer a local matter but a transnasional phenomenon that affects all societies and economies, making international cooperation to prevent and control it essential.

Dimitri Vlasis[4] mengungkapkan bahwa masyarakat dunia, baik di negara berkembang maupun negara maju, semakin frustasi dan menderita akibat ketidakadilan dan kemiskinan yang diakibatkan tindak pidana korupsi. Masyarakat dunia menjadi pasrah dan sinis ketika menemukan bahwa aset hasil tindak pidana korupsi, termasuk yang dimiliki oleh para pejabat negara, tidak dapat dikembalikan karena telah ditransfer dan ditempatkan di luar negeri melalui pencucian uang yang dalam praktik dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan jejak.

Halaman Selanjutnya:
Tags: