Kawin Kontrak: Antara Agama, Hukum dan Realita
Utama

Kawin Kontrak: Antara Agama, Hukum dan Realita

Diyakini banyak kalangan kawin kontrak menimbulkan mudharat yang lebih besar ketimbang maslahah. Utamanya di pihak perempuan dan anak

Oleh:
Aru/CRH/CRI
Bacaan 2 Menit
Kawin Kontrak: Antara Agama, Hukum dan Realita
Hukumonline

 

Di dalam agama Islam, menurut Abdus Salam Nawawi, kawin kontrak dikenal dengan istilah kawin mut'ah. Kawin mut'ah menurut Dekan Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Ampel Surabaya itu, terjadi pada masa Rasulullah. Waktu itu kondisinya berbeda: darurat. Sedang dalam peperangan. Saat itu Rasulullah mengizinkan tentaranya yang terpisah jauh dari istrinya untuk melakukan nikah mut'ah, dari pada melakukan penyimpangan. Namun kemudian Rasulullah mengharamkannya ketika melakukan pembebasan kota Mekah pada tahun 8 H/630 M.

 

UU 1/1974 tentang Perkawinan

Pasal 2

(1)          Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

 

 

Sifat kawin mut'ah ini, jelas Nawawi, lebih menitikberatkan pada kesenangan yang dibatasi oleh waktu tertentu. Atas kawin Mut'ah ini, sebagian besar ulama Islam mengharamkannya. Menimbangnya dari segi tujuan pembentukan rumah tangga, Nawawi menyatakan dirinya tidak menyetujui praktik ini.

 

Senada dengan Nawawi, hakim agung Rifyal Ka'bah juga berpendapat bahwa kawin mut'ah lebih mengarah pada kesenangan belaka. Itu kan cuma kawin main-main dengan tujuan hanya untuk bersenang-senang. Kalau kita pakai common sense, akal sehat, praktek ini kan tidak bisa diterima, tukas Rifyal.

 

Menurut Rifyal, secara prinsip perkawinan adalah kontrak. Namun perkawinan bukan kontrak semata. Perkawinan adalah kontrak suci karena berjanji di depan wali, saksi dan juga di depan Allah, bahwa ia akan memperlakukan pasangannya dengan baik.

 

Sementara itu, Abdul Moqsith Ghazali, Kepala Madrasah Ushul Fiqh Progresif Wahid Institute melihat kawin kontrak dari aspek akibat. Menurut Moqsith Ghazali, meski kawin kontrak merujuk pada Al Qur'an dan Hadist, tapi dalam konteks saat ini, harus dipertimbangkan efeknya. Positif atau negatif. Moqsith Ghazali berpendapat praktik kawin kontrak saat ini lebih banyak efek negatifnya. Terutama kepada perempuan, ujarnya kepada hukumonline.

 

Selain Nawawi, Rifyal, dan Moqsith Ghazali, nada penentangan terhadap nikah kontrak juga datang dari Quraish Shihab. Saya berpendapat bahwa suatu pernikahan haruslah langgeng dan didasari pula atas cinta. Sementara, kawin kontrak menurut mantan Menteri Agama ini sifatnya tidak langgeng. Sehingga bertentangan dengan filosofi tujuan pernikahan.

 

Status Perkawinan

Bagaimana jika kawin kontrak terlanjur terjadi, apa akibat hukum yang muncul akibat perkawinan ini, seperti status perkawinan, pewarisan dan soal anak? Menurut Quraish Shihab, di negara yang mayoritasnya beraliran Syi'ah –aliran yang menerima konsep mut'ah- seperti Iran, status perkawinannya diakui. Bahkan status anak diakui, sehingga otomatis memungkinkan untuk menjadi ahli waris.

 

Namun itu di Iran, bagaimana di Indonesia? Menurut Rifyal, tidak ada akibat hukum apapun dalam perkawinan kontrak. Pasalnya, perkawinan seperti ini menurutnya adalah perzinahan. Masalahnya, praktek kawin kontrak sering ditemukan di dalam negeri. Salah satunya, ya, kasus di kawasan Puncak tadi.   

 

Hal inilah yang mengundang keprihatinan Venny. Menurut dia, pihak perempuan dalam kawin kontrak tidak lebih dari sekedar komoditas seks. Kawin kontrak hanya dijadikan alasan dengan menggunakan kedok agama untuk melaksanakan prostitusi terselubung. Selain itu, nasib anak hasil kawin kontrak pun menurut Venny tidak berbeda jauh dengan sang ibu. Hampir pasti si anak tidak akan mendapat warisan apapun. Setelah selesai masa kontrak. Maka anak akan sepenuhnya menjadi tanggung jawab perempuan.

 

Soal perempuan sebagai pihak yang mempunyai potensi dirugikan lebih besar ini diamini oleh Quraish Shihab. Ia yakin tidak ada satupun perempuan yang tidak ingin, kecuali terpaksa, pernikahannya langgeng. Itu sebabnya jika ada orang tua yang dilamar anak gadisnya maka ia akan berpikir berulang kali untuk menerimanya. Ini berhubungan juga dengan stereotip yang berkembang bahwa perempuan itu ibarat korek api, yang setelah dinyalakan lalu dibuang.

 

Kalaupun pada akhirnya kawin kontrak dilakukan, maka menurut Moqsith Ghazali, hal harus diikuti dengan dibuatnya janji perkawinan. Dalam janji perkawinan tersebut harus diatur soal status perkawinan, jangka waktu termasuk nasib si anak yang bakal lahir.

 

Aturan

Ketiadaan aturan hukum yang mengatur mengenai kawin kontrak dengan segala akibatnya menyebabkan beberapa pihak mendesak agar dilakukannya pembaharuan dalam hukum perkawinan. Venny misalnya, menurut Venny, ketiadaan pasal yang mengatur soal kawin kontrak mengakibatkan aparat penegak hukum menggunakan jerat hukum lain.

 

Mengambil contoh di kawasan puncak, warga negara asing yang biasanya merupakan pelaku praktik kawin kontrak dijerat dengan peraturan soal keimigrasian. Itu untuk warga negara asing, bagaimana dengan warga lokal, karena pelaku praktik ini tidak melulu warga negara asing.

 

Mendukung pendapat Venny, Moqsith Ghazali memandang saat ini harus dipikirkan untuk dibuat rancangan undang-undang mengenai kawin kontrak. Pengaturan soal kawin kontrak ini menurut Moqsith Ghazali untuk mencegah dilecehkan dan dirugikannya kaum perempuan.

 

Pandangan berbeda datang dari Quraish Shihab. Menurut Quraish, Undang-Undang Perkawinan (UU 1/1974, red) yang ada sekarang sudah cukup baik. Saya tidak melihat ada bagian dari UU tersebut yang harus ditegaskan kembali atau diperbaiki. Menurutnya persoalan mengenai keabsahan kawin kontrak ini dapat terjawab dari salah satu pasal dari UU Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang berdasarkan agamanya masing-masing.

 

Jalur kawasan Puncak pernah memiliki daya tarik baru selain pesona keindahan alamnya. Ya, kawasan dengan udara cukup sejuk itu sempat dikenal sebagai lokasi praktik kawin kontrak. Hal itu terungkap setelah aparat melakukan sweeping beberapa waktu lalu. Beberapa pelaku dideportasi ke negara asal.

 

Praktik kawin kontrak di Indonesia diperkirakan telah berlangsung lama. Adriana Venny, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, menengarai praktik ini pernah terjadi pada saat proyek pembangunan Jatiluhur. Saat itu, banyak tenaga-tenaga asing yang melakukan perkawinan secara kontrak dengan penduduk lokal. Ini terlihat dari struktur pola wajah anak-anaknya yang agak 'ke-indo-indo-an' ujar Venny. Umumnya, mereka melakukan perkawinan dengan tenggang waktu lama bekerja mereka.

Halaman Selanjutnya:
Tags: