Parsel Lebaran: Antara Kepentingan Penguasa, Pengusaha, dan Pemberantasan KKN
Utama

Parsel Lebaran: Antara Kepentingan Penguasa, Pengusaha, dan Pemberantasan KKN

Sulit dipungkiri bahwa pemberian hadiah atau janji dari bawahan kepada atasan bukan tanpa maksud tertentu. UU menggunakan frase patut diduga berkaitan dengan jabatan.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Parsel Lebaran: Antara Kepentingan Penguasa, Pengusaha, dan Pemberantasan KKN
Hukumonline

 

Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31/1999) tegas menyebutkan ancaman penjara 1–5 tahun dan denda 50–250 juta rupiah bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau yang berhubungan dengan jabatannya. Paling tidak, menurut pikiran banyak orang, pemberian hadiah itu berkaitan dengan jabatan penerima hadiah atau janji tersebut.

 

Ancaman hukuman itu tampak mulai efektif. Tetapi untuk mengubah seratus persen sangat sulit karena pemberian parsel di kalangan pejabat sudah menjadi tradisi yang berlangsung puluhan tahun. Bawahan yang ingin naik jabatan akan berusaha dengan segala cara 'menjual muka' kepada atasannya. Termasuk dengan cara mengirimkan parsel. Lebaran, Natal atau Tahun Baru merupakan kesempatan yang sayang kalau dilewatkan. Ada kalanya juga pada saat ulang tahun si bos.

 

Adalah KPK yang menabuh genderang perang terhadap segala bentuk dan praktek parsel itu. Tetapi genderang perang itu menjadi lonceng kematian bagi pengusaha parsel dan penguasa yang sudah terbiasa mengharapkan kiriman parsel di hari-hari besar keagamaan. Tabuhan KPK langsung menimbulkan kontroversi.

 

Di sisi lain dukungan terhadap kebijakan KPK mengalir. Masyarakat Profesional Indonesia menganggap kebiasaan memberikan parsel kepada pejabat berpotensi menjadi celah timbulnya kolusi, korupsi dan nepotisme. Pejabat akan mencatat, atau mengingat, nama-nama pengirim parsel. Sehingga dalam membuat kebijakan, acapkali menguntungkan orang-orang yang memberikan parsel, upeti, hadiah atau pemberian lain sejenis.   

 

Keberatan pengusaha

Seperti Lebaran dua tahun belakangan, beleid KPK ini juga diprotes para pedagang parsel. Sejumlah pengurus Asosiasi Pengusaha Parsel Indonesia (APPI) mendatangi kantor KPK Senin (09/10) lalu.

 

APPI menganggap larangan KPK aneh dan tanpa memberikan kesempatan kepada para pengusaha parsel memberikan masukan sebelum kebijakan pelarangan dibuat. Fahira Fahmi Idris, Ketua Umum APPI, mempertanyakan alasan di balik larangan menerima parsel yang dibuat KPK.

 

Menurut putri Menteri Perindustrian Fahmi Idris itu, larangan menerima parsel yang dibuat KPK membabi buta, mengorbankan pengusaha. Memberantas korupsi boleh, tetapi jangan sampai merugikan orang yang belum tentu bersalah. Fahira ngotot meminta agar KPK mencabut larangan itu.

 

Seorang pengusaha lain menepis pandangan bahwa parsel sudah pasti gratifikasi. Pemberian parsel tak lebih sebagai bentuk silaturrahmi baik kepada sesama rekan kerja maupun mitra usaha. Lagipula, UU No. 31 Tahun 1999 tak mengenal sebutan parsel sebagai sebuah pemberian yang dilarang. Begitulah uneg-uneg pengusaha atas beleid KPK.

 

Salahkah membuat larangan bagi pegawai negeri atau pejabat negara menerima parsel? Tampaknya banyak orang yang salah memahami. Menurut Lambok Hutauruk, Direktur Gratifikasi, KPK tidak pernah melarang masyarakat membeli parsel yang dibuat pengusaha. Larangan menerima parsel hanya ditujukan kepada pejabat negara atau penyelenggara pemerintahan. Jadi, kalau masyarakat mau membeli parsel, silahkan saja. Tetapi pejabat negara dihimbau untuk tidak menerima pemberian parsel dari: (i) bawahan; (ii) rekan kerja; (iii) rekanan; atau (iv) pengusaha.

 

Kalaupun sudah terlanjur menerima atau ada keadaan tertentu yang membuat sulit menolak parsel itu, KPK meminta pejabat itu agar segera melaporkan selambat-lambatnya 30 hari setelah parsel itu diterima. KPK akan menentukan status hukum kepemilikan (gratifikasi) parsel itu; apakah akan dikembalikan kepada yang bersangkutan atau dilelang untuk masuk ke kas negara.

 

Boleh, asalkan…

Selain tidak melarang masyarakat membeli, KPK malah mendorong agar parsel yang dibeli diberikan kepada fakir miskin, yatim piatu, atau pegawai golongan bawah. KPK sendiri malah memberikan parsel kepada para petugas kebersihan dan pegawai rendahan di kantornya. Tampaknya KPK memang tidak begitu kaku.

 

Hal itu tersirat dari surat Pimpinan KPK kepada lima lembaga negara di atas tertanggal 26 September 2006 tentang penetapan nilai parsel yang masih dapat diterima. Dalam hal pemberian atau penerimaan parsel masih dapat ditolerir, KPK menyarankan kepada Presiden untuk menerbitkan Perpres yang menentukan nilai/harga parsel yang boleh diterima.

 

Sebelum Presiden menerbitkan Peraturan dimaksud, lampu hijau penerimaan parsel dihidupkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Men-PAN) Taufik Effendi. Saat berkunjung ke Kalimantan Selatan Sabtu (14/10) lalu, sang Menteri menegaskan bahwa pegawai negeri sipil boleh menerima parsel dengan syarat.

 

Setidaknya, ada tiga syarat yang disebutkan Men-PAN. Pertama, nilai setiap parsel tidak boleh lebih dari Rp250 ribu. Pertanyaannya, bagaimana kalau parsel dari pengusaha rekanan kepada seorang pejabat dipilah-pilah ke dalam puluhan parsel yang nilai setiap parsel tak sampai 250 ribu perak? Kedua, parsel yang diperbolehkan adalah dari atasan kepada bawahan, bukan sebaliknya. Jika parsel dari bawahan ke atasan, patut diduga ada maksud tertentu berkaitan dengan jabatan. Ketiga, uang pembelian parsel itu harus berasal dari dana yang bisa dipertanggungjawabkan.

 

Kepada Muspida Kalimantan Selatan, Me-PAN mengatakan bahwa paparannya mengenai parsel sudah dikonsultasikan dan disetujui KPK. Presiden pun sudah merestui. Itu sebabnya, Taufik mengaku sudah mengirimkan surat edaran kepada para pimpinan pegawai negeri sipil.

 

Kejaksaan Agung pun akan mengambil kebijakan serupa. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mempersilahkan atasan memberikan parsel kepada jaksa atau pegawai kejaksaan bawahannya.

 

KPK menghimbau agar seluruh penyelenggara negara tidak menerima parsel, Men-PAN memberikan izin kepada PNS untuk menerima dengan syarat. Perbedaan pandangan para pengambil kebijakan sangat mungkin berimbas pada penerapan di lapangan. Sama seperti ketika orang meributkan kode etik hakim yang disusun Mahkamah Agung: hakim diperbolehkan menerima pemberian.

 

Batas-batas pemberian itulah yang akhirnya menimbulkan perdebatan. Apakah dengan nilai Rp250 ribu, misalnya, seorang hakim akan terpengaruh? Bisa jadi tidak! Tetapi hubungan baik acapkali membuat orang merasa ewuh pakewuh dan ingin membalas budi baik. Apakah rasa budi baik itu muncul dari setiap bingkisan parsel? Sama sulitnya memilah mana parsel dengan niat silaturrahmi, dan mana parsel yang diiringi harapan naik jabatan atau dapat proyek. Hanya pemberi dan penerima parsel yang bisa menjawabnya...

 

Selembar surat bersifat Sangat Segera meluncur dari Jalan Veteran III Jakarta Pusat, 4 Oktober lalu. Isinya singkat, hanya satu paragraf. Ditandatangani Taufiequrrahman Ruki, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), surat itu dikirimkan kepada pimpinan lima lembaga negara, yakni Presiden, Ketua DPR, Ketua DPD, Ketua BPK, dan Ketua MA. Entah mengapa, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial tak ikut disurati.

 

Meskipun ringkas, isi surat tersebut sangat tegas. Pada prinsipnya pimpinan KPK menyarankan kepada Presiden/Ketua DPR/Ketua DPD/Ketua BPK/Ketua MA untuk melarang pejabat negara dan pejabat pemerintah di jajaran instansinya menerima parsel dari bawahan, rekan kerja dan atau rekanan/pengusaha dalam bentuk apapun baik berupa karangan bunga, bingkisan makanan maupun barang-barang berharga lainnya.

 

Surat ini sebenarnya merupakan susulan yang berisi penegasan surat KPK yang dikirim seminggu sebelumnya. Selama dua tahun terakhir KPK memang selalu mengeluarkan surat yang melarang pejabat negara menerima parsel pada hari Lebaran, Natal dan Tahun Baru.

 

Larangan KPK tersebut membawa imbas yang luar biasa. Banyak pejabat negara atau penyelenggara pemerintahan yang was-was memberi atau menerima parsel dari koleganya. Jika salah menyikapi, pejabat dimaksud bisa terancam pasal gratifikasi atau korupsi. KPK menerbitkan larangan itu bukan tanpa sebab. Hukum telah membuat rambu-rambu yang tegas. Apalagi kalau parsel itu bisa disetarakan dengan hadiah. Tak kurang dari Ketua KPK Anwar Nasution dan hakim konstitusi HAS Natabaya langsung melaporkan parsel yang mereka terima.

Halaman Selanjutnya:
Tags: