Ubah MoU Penanganan TKI Menjadi Perjanjian Bilateral
Berita

Ubah MoU Penanganan TKI Menjadi Perjanjian Bilateral

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menyatakan keprihatinan atas nasib yang menimpa tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Salah satu yang mendesak dilakukan adalah meningkatkan bentuk hukum kerjasama kedua negara.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Ubah MoU Penanganan TKI Menjadi Perjanjian Bilateral
Hukumonline

 

Upaya mendesak pemerintah meratifikasi Konvensi itu sebenarnya sudah pernah dilakukan lewat pengadilan. Yakni ketika Tim Advokasi Tragedi Nunukan mengajukan gugatan citizen lawsuit ke PN Jakarta Pusat. Namun permintaan mengenai ratifikasi itu ditolak hakim. Oleh karena itu yang bisa diharapkan adalah lewat legislative review lewat DPR.

 

Sayang, harapan itu agaknya sulit terwujud. Dari lima sampai enam konvensi yang menjadi target DPR untuk diratifikasi tahun ini, tidak ada satu pun mengenai perburuhan. Yang ada hanya mengenai terorisme, korupsi dan perdagangan orang.

 

Tanggungjawab pemerintah

Untuk menyiasati itu, YLBHI berencana mendesak pemerintah mengambil inisiatif mengajukan rancangan ratifikasi Konvensi tentang Perlindungan Buruh Migran. Penanganan TKI menurut ketentuan memang menjadi kewajiban pemerintah. Pasal 6 Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) tegas menyebutkan bahwa Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan upaya perlindungan TKI di luar negeri.

 

Selanjutnya, pasal 7 menguraikan apa saja kewajiban pemerintah dalam upaya melindungi TKI, yakni menjamin terpenuhinya hak-hak calon TKI/TKI, baik yang berangkat melalui pelaksana penempatan TKI, maupun yang berangkat secara mandiri, mengawasi pelaksanaan penempatan calon TKI, membentuk dan mengembangkan sistem informasi penempatan calon TKI di luar negeri.

 

Selain itu pemerintah berkewajiban melakukan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan TKI secara optimal di negara tujuan dan memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan.

 

Menurut rencana, Jum'at mendatang YLBHI akan menemui Menteri Tenaga Kerja Fahmi Idris. Desakan agar pemerintah meratifikasi konvensi dan meningkatkan MoU menjadi perjanjian bilateral merupakan agenda yang akan dibawa.

 

Berkenaan dengan kisruh penanganan TKI, sebenarnya Menteri Tenaga Kerja Fahmi Idris sudah berangkat ke Malaysia pertengahan Januari lalu. Dalam pertemuan dengan Menteri Dalam Negeri Malaysia saat itu telah dicapai kesepakatan untuk membentuk pelayanan satu atap (one roof system) kepentingan TKI.

Bentuk kerjasama setingkat memorandum of understansing (MoU) dinilai Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sudah tidak memadai lagi digunakan sebagai payung hukum mengingat rumitnya persoalan buruh migran di antara kedua negara. MoU harus segera diganti dengan perjanjian bilateral, ujar Tabrani Abby, Manager Hak-Hak Buruh YLBHI di Jakarta (8/2).

 

Menurut Tabrani, dari segi yuridis perjanjian bilateral lebih kuat kedudukannya dibanding hanya sekedar MoU. Bila kerjasama kedua negara mengenai buruh migran dituangkan dalam bentuk perjanjian bilateral, maka daya paksanya lebih jelas. Namun Tabrani tidak menjelaskan apakah perubahan bentuk hukum kerjasama itu akan bisa mengurangi problem pengiriman TKI ke Malaysia.

 

Pada kesempatan yang sama, Ketua YLBHI Munarman mengatakan bahwa sudah waktunya Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya (UN Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Member of Their Families). Sebab, dengan meratifikasi konvensi tersebut, pemenuhan hak-hak buruh migran lebih terjamin dan jangkauannya lebih luas. Kami minta DPR dan Pemerintah segera meratifikasi Konvensi ini, kata Munarman.

Tags: