Intensitas penggunaan karya musik pada dunia digital semakin tinggi seiring semakin menjamurnya platform, seperti Youtube, Spotify hingga Tiktok. Sayangnya, perlindungan hak cipta bagi musisi masih lemah sehingga imbalan atau nilai ekonomi yang diterima masih jauh dari ideal.
Koordinator Penelitian Koalisi Seni, Ratri Ninditya mengungkapkan UU No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta belum mampu melindungi musisi dalam industri musik digital yang berkembang saat ini. Terlebih, UU 28/2014 yang ada saat ini belum berpihak pada musisi dan memberi ruang terhadap pihak-pihak perantara.
“Dan kesimpulannya dalam setiap prosesnya suara musisi paling tidak didengar dan kasih ruang pada pihak perantara ketimbang perlindungan pada pencipta dan pelaku pertunjukan," ungkap Ratri atas masih lemahnya UU Hak Cipta, Senin (6/5/2024).
Melihat kondisi tersebut, Koalisi Seni mendorong peran regulator membuat kebijakan yang berpihak pada musisi. Koalisi Seni sendiri didukung oleh UNESCO dan Korea Funds-in-Trust (KFIT) baru mengadakan Kelas AKSI Keliling bertajuk ‘Diam-Diam Merugikan Bongkar Bareng Seluk-Beluk Royalti Supaya Kamu Gak Terus Rugi di Creative Hall’, Jumat (3/5/2024) kemarin. Dalam acara tersebut juga dihadiri musisi nasional Yovie Widianto, Melly Goeslaw dan Sade Susanto.
Baca juga:
- Pentingnya Artis dan Musisi Memahami Hukum Terkait Hak Cipta
- DJKI Bakal Revisi Aturan Turunan UU Hak Cipta Terkait Pemanfaatan Ekonomi Musik dan Lagu
Ratri menuturkan, platform digital di Indonesia sendiri memberikan tarif untuk musisi sangat kecil. Karenanya Ratri berharap pemerintah mengintervensi kondisi ini agar platform digital yang ada di Indonesia memberi tarif yang ideal kepada musisi. Dibandingkan negara lain seperti Malaysia, menurut Ratri tarif platform digital Indonesia jauh lebih rendah.
“Indonesia tarifnya lebih kecil. Walaupun musiknya lebih banyak didengarkan di Indonesia. Padahal data-data penggunaan platform di Indonesia lebih tinggi,” katanya.